Islam
menghendaki setiap da’iyah muslimah tak sekedar bisa mengajak orang lain, namun
mereka tak boleh melupakan diri sendiri. Allah Ta’ala mencela sikap orang yang
hanya pandai berdakwah mengajak dan mengingatkan orang lain, sementara dirinya
sendiri tak mendapatkan perhatian :
“Mengapa kamu
suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab, apakah kamu tidak
berfikir ?” (Al Baqarah: 44).
Ayat tersebut memang ditujukan kepada Bani Israil yang
pandai menyuruh orang lain namun enggan melakukannya sendiri, padahal mereka
membaca Taurat. Tentu menjadi peringatan pula bagi setiap da’iyah muslimah,
agar konsekuen dengan apa yang ia serukan kepada umat.
Adapun persiapan diri seorang da’iyah muslimah, secara
garis besar meliputi empat cakupan, yakni :
1.
Persiapan Ruhiyah (Spiritual)
2.
Persiapan Tsaqafah
(Intelektual)
3.
Persiapan Jasadiyah
4.
Persiapan Maliyah (Material)
Berikut kita bahas satu persatu :
- Persiapan Ruhiyah
Aqidah adalah merupakan pondasi kehidupan mukmin.
Takaran kekuatan ruhiyah seseorang ditentukan oleh tancapan aqidah yang melekat
di hatinya. Di sini bisa kita pahami, jika tarbiyah generasi awal Islam
bermula dari penanaman aqidah dalam hati.
Rasulullah saw menyiapkan generasi awal Islam lewat tarbiyah
ruhiyah yang mantap. Turunnya surat Al Muzammil pada
awal periode Makah mengisyaratkan betapa kuatnya persiapan tarbiyah ruhiyah saat itu. Setelah mengokohkan
aqidah, proses tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa) berjalan efektif. Di
sinilah rupanya rahasia tarbiyah Islamiyah fase Makah, sebagaimana
saratnya Al Muzammil dengan nilai-nilai ruhiyah :
“Hai
orang-orang yang berselimut ! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali
sedikit dari padanya (yaitu) seperduanya atau kurang sedikit dari itu, atau
lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an dengan tartil” (Al Muzammil:
1-4).
“Sebutlah
nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepadanya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan
masyriq dan maghrib, tiada ilah selain Dia, maka ambillah Dia sebagai
pelindung. Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapakan dan jauhilah
mereka dengan cara yang baik” (Al Muzammil: 8-10).
Jika kita perhatikan kehidupan generasi awal Islam,
tampak ada beberapa tonggak dalam upaya mempersiapkan kekuatan ruhiyah seorang da’iyah
muslimah, yakni :
a.
Memiliki Kejelasan
Loyalitas
Islam sebagai dien yang syamil memiliki patokan
karakter kepribadian penganutnya, yang tercermin dalam doktrin aqidah, syari’ah
maupun akhlaq. Aqidah sebagai
pondasi keyakinan telah ditancapkan sejak awal zaman kenabian ke dada para
sahabat. Inilah patokan karakter yang amat fundamental dalam kehidupan muslim.
Keimanan kepada Allah Ta’ala, malaikat, Rasul, Kitab, hari akhir dan taqdir
telah menyebabkan seorang muslim berkepribadian tamayuz (spesifik), berbeda dari yang lainnya.
Selain pondasi aqidah para da’iyah muslimah juga
mengaplikasikan hukum-hukum syari’ah dalam kehidupan kesehariannya.
Berlandaskan keimanan, kaum muslimah mengerti halal dan haram. Mereka juga
melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan. Hukum syari’ah telah menyebabkan
kehidupan kaum muslimah teratur, tertata dari hal-hal yang kecil dan mempribadi
sampai kepada hal-hal besar dan sistemik.
Wala’ (loyalitas)
merupakan karakter asasi setiap muslim. Dengan ciri ini, akan mampu membedakan
orang-orang yang beriman dengan orang yang kafir. Allah ‘Azza wa Jalla
memerintahkan kaum muslimah agar menyerahkan loyalitasnya secara penuh kepada
Allah, RasulNya dan orang –orang yang beriman. Sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah., RasulNya dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, serta
mereka ruku’ (kepada Allah.)” (Al Maidah: 55).
Pertama kali setiap da’iyah muslimah mestilah iltizam
(komitmen) terhadap syari’at Allah swt. Seluruh tindakan dan perbuatannya tak
boleh bertentangan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam.
Sampai ke masalah syu’ur (perasaan) dan dzauq (selera) pun mesti
disesuaikan dengan kehendak Allah swt dan RasulNya sehingga tak satu pun dari
aktivitas lahir maupun batinnya yang berkadar keluar dari syari’at Islam.
Kehidupan keseharian da’iyah muslimah senantiasa
mencerminkan aplikasi syari’ah. Rumah da’iyah muslimah adalah rumah yang di
dalamnya ditegakkan ajaran syari’at kerumahtanggaan. Umat tidak melihat dirinya
kecuali dalam keadaan memegangi aturan Ilahi.
Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah telah
meninggalkan jejak manhaj dalam dakwah. Kesemua manhaj dakwah
Rasulullah itu tentu saja untuk diteladani para da’iyah muslimah dalam
menjalankan tugas dakwahnya. Sirah nabi menuntun dalam memahami manhaj
tersebut, bagaimana marhalah (tahapan) dalam dakwah selama di Makah dan
di Madinah, bagaimana kaifiyat (tata cara ) beliau dalam berdakwah, apa maudhu
(tema) yang disampaikan kepada umatnya. Semuanya berfungsi sebagai sebuah manhaj
yang semestinya diterapkan dalam medan
dakwah saat ini.
Adapun wujud loyalitas kepada sesama mukmin adalah
alokasi penataan gerak dakwah bersama mereka. Bersikap kasih sayang dan lemah
lembut sesama mereka, serta menetapkan ukhuwah sebagai suatu bentuk kekuatan
struktural di antara mukmin. Allah Ta’
ala berfriman :
“Dan orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun
perempuan, sebagian mereka adalah wali dari sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah swt. dan RasulNya” (At-Taubah: 71).
Ukhuwah direalisir hingga tingkat ta’awun (tolong
menolong) di antara orang-orang mukmin. Perpecahan adalah penyakit umat yang
harus dijauhi, dan Allah swt melarang keras adanya perpecahan ini, sebab
akibatnya akan membuat barisan kaum mukminin semakin lemah.
Banyak ayat tentang kewajiban ukhuwah dan larangan
berpecah belah :
“Dan berpeganglah kepada tali Allah dan janganlah bercerai berai” (Ali Imran: 103).
Dalam ayat yang lain :
“Dan taatlah kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah
kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu…..” (Al
Anfal: 46).
Konsekuensi berikutnya dari ajaran loyalitas terhadap
sesama mukmin adalah memiliki sikap yang tegas terhadap orang-orang kafir. Tak
ada kerja sama dengan orang-orang kafir dalam masalah keyakinan dan prinsip
dasar ad dien, meski dalam muamalah
kaum mukminin tetap bisa hidup berdampingan bersama-sama mereka dalam batas
yang diperbolehkan.
Tampak jelas karakter seperti ini pada generasi awal
yang ditarbiyah langsung oleh Rasulullah saw. Mereka saling mencintai
dan berkasih sayang satu dengan yang lainnya, namun bersikap keras dan tegas
terhadap kekafiran. Inilah karakter yang khas pada setiap mukmin, disebabkan
loyalitasnya yang mutlak diserahkan kepada Allah swt dan RasulNya. Watak ini
dilukiskan dengan sangat indah dalam Al Qur’an :
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah keras
terhadap orang-orang kafir dan kasih sayang sesama mereka……..” (Al Fath: 29).
Kesanggupan berjihad fi sabilillah dan menanggung
segala resiko perjuangan, memiliki hubungan secara langsung dengan wala’. Buat
apa berjihad jika tidak memiliki kejelasan wala’ ? Untuk siapa berjihad ? Ya,
tentu hanya orang mukmin yang telah menyerahkan loyalitas totalnya kepada Ilsam
sajalah yang bersedia menetapi perintah-perintah Allah dan rasulNya. Harta dan
jiwanya telah diserahkan untuk perjuangan fi sabilillah.
Di sini tampak jelas perbedaan orang-orang yang berwala’ kepada
Allah swt dengan orang yang berwala’ kepada thaghut. Ada batas tegas di antara kedua golongan ini.
Masing-masing berjuang untuk menetapi loyalitasnya. Al Qur’an melukiskan
kondisi ini :
“Orang-orang yang beriman berjuang di jalan
Allah dan orang-orang kafir berjuang di jalan thaghut ; oleh sebab itu
perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu
sangat lemah” (An
Nisa’: 76).
Ternyata kejelasan wala’ memang karakter pertama yang
harus dimiliki pada da’iyah muslimah. Dengannya dakwah akan terarahkan sesaui manhaj
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, dengan program jama’i yang
melibatkan segenap potensi.
b.
Menghiasi Diri dengan
Akhlaq Terpuji
Da’iyah muslimah harus memiliki karakter yang kuat dan
jelas. Mereka adalah panutan umat, dimana setiap gerak langkah, tutur kata,
perilaku, dan kehidupan kesehariannya senantiasa diperhatikan umat.
Secara lebih detail, perwujudan karakter mulsim yang
tampak di permukaan adalah ajaran akhlaq. Sedemikian rincinya Islam mengatur
akhlaq, sejak dari akhlaq fardiyah
(individual) bagi setiap individu muslim, hingga akhlaq ijtima’iyah
(sosial) yang memiliki dimensi sosial secara menyeluruh. Hal ini menandakan,
bahwa kehidupan muslim senantiasa terprogram dengan rapi dari waktu ke waktu
setiap harinya.
Para da’iyah muslimah merupakan cermin dari umatnya. Citra Islam
selayaknya muncul sebagai suatu kepribadian setiap da’iyah muslimah, dengan itulah
ia bisa membimbing umat menuju jalan Allah swt. Tanpa akhlaq yang dilandasi
aqidah, niscaya dakwah akan berubah menjadi fitnah yang berbahaya.
Rasulullah memimpin dakwah pada umat manusia dari
kondisi jahiliyah total, menuju cahaya Islam dalam waktu yang singkat, kurang
dari dua puluh tiga tahun. Salah satu kunci keberhasilannya terletak pada
kebagusan akhlaq beliau, disifatkan Aisyah ra, ‘Sesungguhnya akhlaq beliau
adalah Al Qur’an.” Bahkan Allah Ta ‘ala memuji akhlaq beliau :
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlaq yang agung” (Al Qalam: 4).
Jika kita perhatikan dari sirah nabi, Rasulullah
saw dengan akhlaq yang sempurna di tengah kaumnya, berdakwah kepada mereka.
Sehingga betul-betul dakwah Islam ditolak sebagian umat karena permasalahan materi
seruan dakwah itu sendiri, atau karena memang di dalam hati mereka ada
penyakit. Sama sekali dakwah ditolak bukan karena akhlaq sang pembawa risalah.
Bagaimanakah sekiranya para da’iyah muslimah tidak menampilkan akhlaq yang
mulia di tengah umat ini ? Bisa dibayangkan, da’wh tak akan tersampaikan kepada
umat, dan tak akan diterima oleh mereka.
Para da’iyah muslimah tak memiliki alternatif lain lagi kecuali
memperbaiki akhlaq, agar memiliki karakter yang jelas sebagai seorang panutan
umat. Kejelasan karakter ini sangat berpengaruh dalam dakwah, sebab umat memang
memerlukan kejelasan, mana yang datang dari Islam dan mana yang bukan.
Allah ‘Azza wa Jalla tidak menyukai orang-orang yang
hanya bisa berbicara, mengajak dan melarang orang lain, namun ia sendiri tidak
seperti apa yang diucapkan. Usamah bin Zaid ra pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda :
“Pada hari kiamat kelak didatangkan seseorang, lalu
dicampakkan ke dalam neraka, maka keluarlah ususnya dan berputar-putar, seperti
seekor keledai yang mengitari batu kisaran. Para penghuni neraka mendatanginya
seraya bertanya, “Hai Fulan, ada apa gerangan ? Bukankah engkau yang menyuruh
kami berbuat ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ?” Maka dijawab, “Benar,
akulah ayang pernah menyuruh kalian berbuat ma’ruf tapi aku sendiri tak
melakukannnya, dan aku melarang orang dari berbuat kemungkaran, tapi aku
sendiri melakukannnya” (HR. Muslim).
Usamah bin Zaid ra juga pernah mendegar Rasulullah
bersabda :
“Pada malam perjalananku (Isra’ dan Mi’raj) aku lewat
pada sekelompok kaum yang tengah digantung lidahnya dengan gunting dari api.
Akupun bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Jibril ?” Jibril menjawab, “Mereka
itu adalah juru khutbah dari umatmu, yang mengatakan sesuatu yang ia sendiri
tidak melakukannya.”
Hendaklah para da’iyah muslimah takut akan kondisi itu,
sehingga melakukan persiapan memperbaiki akhlaq setiap saat. Bukan saja untuk
keperluan dakwah di dunia ini, namun lebih dari itu untuk keselamatan di
akhirat kelak.
c.
Qiyamullail
Allah ‘Azza wa Jalla pada awalnya telah mewajibkan shalat malam pada
Rasulullah saw dan para sahabat, hingga turunnya ayat keduapuluh surat Al Muzammil.
Sekalipun dari sisi hukum akhirnya bukan wajib, namun nilai yang terkandung di
dalamnya sungguh luar biasa. Banyaknya keterangan yang menyebutkan keutamaan
shalat malam akan makin menyadarkan kita bahwa aktivitas ini memiliki peranan
yang penting dalam kehidupan seorang da’iyah muslimah.
Ketika mensifati hamba-hamba Ar Rahman (‘Ibadurahman)
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan sujud
dan berdiri untuk Tuhan mereka” (Al Furqan: 64).
Ciri orang yang bertaqwa dikaitkan dengan sedikitnya
tidur di waktu malam, sebab ibadat malam telah menjadikan bagian dari hidupnya
:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di
akhir malam mereka memohon ampun (kepada
Allah)” (Adz Dzariyat:
17-18).
Demikian pula dengan ciri orang yang beriman, dengan
sedikitnya tidur di waktu malam dan kegemaran melakukan ibadat malam :
“Lambung mereka telah jauh dari tempat tidurnya,
sedang mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap, dan
mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka” (As-Sajdah: 16).
Waktu malam dipilih oleh Allah karena di saat itu hati
menjadi khusyu’, merasakan kelemahan diri di hadapan Al Khaliq. Pada waktu itu
kebanyakan orang tertidur pulas, di situlah manusia merasakan kesendirian
berbincang dengan Penguasa alam semesta, lewat sujud–sujud panjang dan
do’a-do’a yang dipanjatkan dari kedalaman hati seorang hamba yang lemah.
Rahasia pemilihan waktu malam ini diungkapkan dalam Al Muzammil :
“Sesungguhnya bangun di waktu malam itu adalah lebih
tepat (untuk khusyu’) dan bancaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya
kamu pada waktu siang hari mempunyai urusan-urusan yang panjang” (Al Muzammil: 6-7).
Pembinaan ruhiyah berjalan efektif dengan qiyamullail
ini. Tak mengherankan, mereka yang telah merasakan nikmatnya shalat malam akan
merasa sangat kehilangan jika ada satu malam yang terlewatkan darinya. Abu
Sulaiman berkata, “Ahli bangun malam itu di waktu malamnya dapat merasakan
lebih lezat dari pada ahli suka ria dengan segala macam kesukariaannya.”
Ibnu Munkadir berkata, “Di antara beberapa kelezatan
dunia itu tak ada yang kekal dan tetap, melainkan tiga perkara yaitu waktu
bangun shalat malam, di waktu bertemu kawan-kawan dan di waktu shalat jama’ah.”
Ini merupakan gambaran jiwa yang telah mampu menangkap ruh ibadat malam.
Para da’iyah muslimah sudah selayaknya meraih kenikmatan munajat kepada
Allah swt di saat ia bangun malam dan melakukan shalat lail. Menilik turunnya
perintah shalat malam pada waktu awal dakwah di Makah, tampaknya memang inilah
metoda dan bahkan manhaj yang mesti dilalui para da’iyah muslimah,
sebagai bentuk persiapan ruhiyah. Dengan shalat lail ini pula Allah swt akan
berkenan memberikan derajat yang terpuji (maqaman mahmudan) kepada ahlinya :
“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajjudlah
kamu, sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat
kamu ke tempat yang terpuji” (Al Isra’: 79).
Permasalahan yang dihadapi para da’iyah muslimah tak
bisa diselesaikan hanya dengan hitungan matematis; adakalanya bahkan ia tidak
akan mampu menyelesaikankannya sendiri. Di sini terasa urgensi taqarrub kepada Allah swt.
Kenyataannnya, tadakhul Rabbani (intervensi Allah) lebih berperan dalam
menyelesaikan permasalahan dakwah kaum muslimah. Pada saat malam, tersedia
waktu untuk mengungkapkan permasalahan yang tengah dihadapinya, sehingga Allah
swt berkenan menyelesaikannya. Rasulullah saw telah bersabda, sebagaimana yang
didengar oleh Jabir ra :
“Pada waktu malam ada saat, dimana tiadalah seorang
muslim dapat menemukannya lalu ia minta kepada Allah suatu kebaikan, melainkan pasti diberinya,
baik soal kebaikan dunia atau akhirat dan saat itu ada pada setiap malam” (Riwayat Muslim).
Sudah selayaknya kehidupan seorang da’iyah muslimah itu
sebagaimana sebuah ungkapan, “Seperti rahib di malam hari dan seperti singa
di siang hari.” Artinya, kehidupan
malamnya digunakan untuk melakukan ibadah nafilah, lewat shalat malam
dan do’a permohonan kepada Allah swt, sementara di siang hari ia tekun bekerja
di jalan Allah swt.
d.
Tilawah Qur’an
Metode pebenahan ruhiyah yang diungkapkan di dalam Al
Muzammil, setelah qiyamullail adalah tilawah Qur’an secara tartil :
“Dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil” (Al Muzammil: 4).
Al Qur’an merupakan mashdar kehidupan mukmin,
oleh karenanya harus senantiasa dibaca, ditelaah kemudian diamalkan isinya.
Membacanya berpahala, dan merupakan ruh yang memberikan kekuatan ma’nawiyah
kepada sang pembaca. Tiada suatu hari dalam kehidupan da’iyah muslimah yang
boleh dibiarkan berlalu tanpa bacaan Al Qur’an.
Bagi orang-orang mukmin, Al Qur’an berfungsi sebagai
obat, penentram hati. Ia juga huda dan rahmat. Namun bagi orang
yang zhalim, keberadaan Al Qur’an hanya semakin menambah penyakit hati saja.
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman :
“Dan kami turunkan dari Al Qur’an sesuatu yang
menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, Al Qur’an itu tak
menambah kepada orang-orang yang zhalim kecuali kerugian” (Al Isra’: 82).
Allah Ta’ala juga
berfirman :
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Yunus: 57).
Dari Al Qur’an para da’iyah muslimah bukan saja
mendapatkan ketenangan dan kekuatan ruhiyah, namun juga petunjuk ilmu
pengetahuan yang amat banyak. Ibnu Mas’ud ra berkata : “Apabila kamu
menginginkan pengetahuan, maka selidikilah Al Qur’an itu, sebab di dalamnya
termuat ilmu-ilmu dari orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian.”
Amat banyak kemuliaan yang diberikan kepada pembaca Al
Qur’an, baik di dunia maupun di akhirat. Amru bin Ash ra menyatakan, “Barang siapa membaca Al Qur’an, maka
telah diletakkan tingkat kenabian di sekitar kanan kirinya, hanya saja ia tak
didatangi wahyu.” Rasulullah Saw mensifatkan :
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al
Qur’an dan mengajakannya” (Riwayat Bukhari).
Perintah membaca Al Qur’an adalah dengan tartil, hal ini
jika kita perhatikan, mengandung makna ketelitian dalam membaca hingga
merasakan betul getaran-getaran ilahiyah yang terpancar dari kalamullah
tersebut. Selebihnya, bisa meresapkan makna ayat-ayat yang dibaca sehingga
mampu meninggalkan atsar (bekas) yang mendalam. Ibnu Abbas berkata : “Sesungguhnya
jika kamu membaca surat
Al Baqarah dan Ali Imran dengan perlahan-lahan dan tertib serta dapat
kesempatan untuk mengenangkan artinya, maka yang demikian itu adalah lebih baik
dari pada membaca seluruh Al Qur’an dengan cara tergesa-gesa dan tak karuan.”
Oleh karena itu Rasulullah saw dan para sahabat banyak
menangis ketika berhadapan dengan Al Qur’an. Pernah suatu ketika Rasulullah saw
bersabda kepad Ibnu Mas’ud ra, “Bacakan kepadaku Al Quran.” Maka Ibnu
Mas’ud berkata, “Ya Rasulullah
bagaimana saya membacakan kepadamu padahal kepadamulah Al Qur’an diturunkan?”
Bersabda Rasulullah saw, “Aku suka mendengarnya dari orang lain.” Maka
Ibnu Abbas membacakan surat
An Nisa hingga ayat :
“Maka bagaimanakah (orang kafir) nanti apabila kami
mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan
kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)” (An-Nisa’: 41).
Sabda Nabi, “Cukup !” Kata Ibnu Mas’ud, “Maka
saya menoleh kepadanya, tiba-tiba kedua mata Nabi berlinangan air mata” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Ibnu Umar ra bercerita ketika Rasulullah saw sakit
keras, beliau diingatkan untuk shalat jama’ah, maka sabda beliau, “Suruhlah
Abu Bakar menjadi imam”. Aisyah berkata, “Abu Bakar itu seorang yang
berhati lembut, jika membaca Al Quran
tak dapat menahan tangis.” Pada riwayat lain ‘Aisyah berkata, “Abu Bakar
jika berdiri di tempatmu orang tak akan mendengar suara karena tangisnya” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Generasi awal memberikan keteladanan yang sempurna dalam
berhadapan dengan Al Quran. Hati mereka tertambat erat dengan Allah swt.
Demikian selayaknya para da’iyah muslimah dalam membenahi kepribadiannya
berdasarkan Al Qur’an. Dirinya diterangi cahaya Al Qur’an, sehingga ia dapat
menerangi dunia, dengan kepribadiaannya yang agung.
e.
Dzikrullah
Dzikrullah ternyata merupakan metode persiapan ruhiyah
yang amat mengena. Banyak sekali perintah Allah swt untuk senantiasa berdzikir,
menandakan aktivitas ini memiliki peran yang besar dalam kehidupan da’iyah
muslimah. Allah swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, dzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah dengan dzikir yang
banyak” (Al
Ahzab: 41).
Kemenangan perjuangan da’iyah muslimah ditentukan oleh
faktor dzikir sehingga semestinya senantiasa bibir para da’iyah muslimah basah dengan dzikir, dalam setiap aktivitas
kehidupan, dalam rangka mencapai sukses perjuangan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Dan berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya niscaya kamu beruntung” (Al Anfal: 45).
Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan, “Dzikir atau mengingat Allah swt dalam segala apa yang dilakukan oleh
hati dan lisan berupa tasbih atau memahasucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala, memuji dan
menyanjung-Nya, menyebut sifat-sifat kebesaran dan keagungan serta sifat
keindahan dan kesempurnaan yang telah dimiliki-Nya. Dari pengertian ini,
tampak luas sekali cakupan dzikrullah itu.
Allah Ta’ala juga
memerintahkan kita berdzikir dalam berbagai kondisi. Firman-Nya :
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu),
berdzikirlah kepada Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring” (An Nisa’: 103).
Tentang ayat ini Ibnu Abbas ra berkata, “Jadi maksudnya adalah jangan lepas-lepas
dari dzikir itu, baik di waktu malam maupun siang, di daratan atau lautan, di
saat berpergian atau di rumah, dalam keadaan kaya atau miskin, waktu badan kita
sehat atau sakit, dalam keadaan sunyi maupun banyak orang.”
Pengaruh dzikrullah adalah ketentraman hati. Para da’iyah muslimah yang senantiasa dzikir kepada Allah
swt, tak akan sekali-kali memiliki rasa cemas dan khawatir, senantiasa ithmi’nan
(tenang) dalam kondisi apa pun. Allah swt berfirman :
“(Yaitu) orang-orang yang beriman hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah
hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram” (Ar
Ra’du: 28).
Sebaliknya, orang yang tidak pernah melakukan dzikir,
hatinya semakin mengeras. Perumpamaan mereka seperti mayat, sebab ruhiyahnya
telah mati pada saat jasadiyah masih hidup. Rasulullah saw bersabda :
“Perumpamaan orang yang dzikir kepada Allah dengan orang yang tak berdzikir kepada Allah
, bagaikan perbedaan antara orang yang hidup dengan yang mati” (Riwayat Bukhari).
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Sayyid Sabiq, dzikir
adalah aktivitas hati dan lisan sekaligus. Agar dzikir mempunyai pengaruh bagi
jiwa, tentu saja harus dilakukan secara benar. Al Ghazali menjelaskan tentang
rahasia dzikir ini :
“Bahwasanya, yang
dapat meninggalkan bekas dan berkesan serta bermanfaat itu ialah dzikir secara
tetap dan berlangsung terus menerus dan disertai dengan kesadaran hati”.
Sungguh dalam dzikir yang demikian itu terdapat kekuatan yang
dahsyat bagi ruhani. Sebab ada kesadaran ruhaniyah yang senantiasa berhubungan
dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan
demikian, bagi da’iyah muslimah dzikrullah merupakan keharusan untuk kematangan
pribadinya, sekaligus meraih sukses dalam langkah di medan dakwah.
Sejak awal hal itu telah diperintahkan dalam Al Muzammil
:
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepadaNya
dengan penuh ketekunan” (Al Muzammil: 8).
Tiga hal dalam proses persiapan ruhiyah ini jika
berjalan istimrar niscaya akan semakin menambah kuatnya perbekalan para da’iyah
muslimah. Masih banyak lagi metode untuk memperkuat basis ruhiyah, yakni
keseluruhan ibadah-ibadah sunnah, yang jika dikerjakan akan membentuk seorang
hamba yang memiliki pribadi yang mempesona. Allah swt telah menjanjikan bagi
hamba-hamba yang tekun melaksanakan ibadah sunnah ini dengan kasih-Nya. Allah
swt berfirman dalam sebuah hadits Qudsi :
“Dan selalu hambaKu mendekat kepadaKu dengan menambah
amal-amal yang sunnah, sehingga Aku kasih kepadanya. Sehingga apabila Aku telah
kasih kepadanya, Aku sebagai pendengaran yang ia mendengar dengannya, dan
penglihatan yang ia melihat dengannya, dan tangan yang digerakkannya, dan kaki
yang ia berjalan dengannya. Dan bila ia minta pasti Aku memberinya, dan bila ia
memohon perlindungan pasti Aku melindunginya” (Riwayat Bukhari).
- Persiapan Tsaqafah
Tidak cukup hanya berbekal persiapan ruhiyah, para da’iyah
muslimah semestinya juga mempersiapkan diri dalam hal tsaqafah
(intelektualitas). Banyak hal yang harus diketahui para da’iyah muslimah,
mengingat kemajuan di bidang sains dan teknologi yang sedemikian pesatnya.
Sosok da’iyah muslimah bukanlah orang yang terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan modern dan teknologi serta
perkembangan politk internasional.
Meski begitu, bukan berarti harus menghabiskan waktu
untuk menekuni perkembangan sains dan teknologi. Yang paling penting adalah
menempatkan keilmuan yang dibutuhkan secara proporsional. Rasulullah saw adalah
sosok manusia yang jenius. Salah satu sifat kerasulan beliau adalah fathanah
(cerdas). Rasul bertugas menyampaikan kepada umat manusia, jika tidak
memiliki otak yang cemerlang tentu akan kesulitan dalam mengemban misi
tersebut.
Allah Ta’ala berfirman :
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita
gembira dan peringatan, agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya rasul-rasul
itu….” (An Nisa’:
165).
Bagi setiap da’iyah muslimah yang memiliki tugas untuk
melakukan tabligh, memang memerlukan
kecerdasan dan pemahaman akan ilmu-ilmu, baik qauliyah maupun kauniyah.
Tanpa itu, tentu akan mengalami kesulitan dalam meyakinkan orang lain, bahkan
dakwah yang disampaikan kehilangan kualitas.
Minimal ada tiga macam keilmuan yang diperlukan oleh
para da’iyah muslimah untuk dirinya sendiri maupun kaitannya dengan tugas
dakwahnya, yakni :
a.
Pengetahuan Islam
Ilmu-ilmu keislaman harus mendapatkan porsi perhatian
utama dari setiap da’iyah muslimah. Sebab, ini adalah ilmu yang menjadi pondasi
kehidupan muslim. Syaikh Said Hawwa menyebutkan beberapa ilmu Islam yang harus
diketahui oleh setiap muslim dewasa ini, yaitu: pertama, ilmu Ushul Ats Tsalasah (tiga landasan pokok)
yang meliputi pengetahuan (ma’rifah) tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, Ar
Rasul dan Al Islam itu sendiri.
Kedua, Al Qur’an, baik kandungan maupun ilmu-ilmu yang
berhubungan dengannya. Ketiga, ilmu As Sunnah, baik kandungan maupun ilmu-ilmu
yang berkaitan dengannya. Keempat, ilmu Ushul Fiqh. Kelima, Ilmu Al Aqa’id
(aqidah), akhlaq dan fiqh. Keenam, Sirah Nabawiyah dan tarikh umat Islam.
Ketujuh, Ilmu bahasa Arab. Kedelapan, sistem musuh dalam menghancurkan Islam
(deislamisasi). Kesembilan, studi Islam modern. Kesepuluh, Fiqh Ad Dakwah
Amat banyak bidang keilmuan yang harus diketahui oleh
seorang da’iyah muslimah, sehingga proses pembinaan diri (tarbiyah)
mengarah pula pada terbentuknya pemahaman yang baik akan ilmu-ilmu tersebut
secara tadarruj (bertahap).
Bagi seorang da’iyah muslimah proses pengembangan dan
pembinaan aspek tsaqafahnya berjalan terus menerus. Tetapi bukan berarti
harus menguasai secara keseluruhan ilmu-ilmu tersebut baru boleh berdakwah.
Lakukanlah dakwah sejak mengetahui kewajibannya, sembari secara istimrar
belajar bidang keilmuan yang diperlukan.
b.
Pengetahuan Modern
Selain mengerti bidang keilmuan tersebut, seorang da’iyah
muslimah juga perlu mengerti ilmu pengetahuan modern yang sekarang banyak
berkembang. Aktivis dakwah Islam perlu juga mengetahui secara global maupun
takhasus keseluruhan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dalam gerak dakwah Islam.
Gerak dakwah Islam membutuhkan profesi-profesi untuk
pelayanan jasa kepada umat, sehingga ada
wujud riil dalam dakwah itu, bukan dakwah sekadar dakwah oral. Dalam bidang
kesehatan misalnya, gerak da’ wah Islam membutuhkan kehadiran para dokter yang
siap melayani kebutuhan umat. Di zaman sekarang dimana banyak orang mengabaikan
nilai-nilai Islam, sehingga terjadilah ikhtilath,
campur baur antara laki-laki dan perempuan, alangkah baiknya jika ketika para
dokter muslim mulai mengatasi masalah ini di bidang kesehatan.
Di bidang farmasi, diperlukan farmakolog muslim yang
meracik obat sendiri, sehingga obat yang beredar di kalangan umat Islam jauh
dari anasir yang subhat dan haram. Di bidang arsitektur dan teknik sipil,
diperlukan ahli yang mampu merancang rumah islami, serta merancang komplek
perkampungan atau perkotaan islami.
Tetapi dari mana datangnya dokter muslim, famakolog
muslim dan arsitek muslim tadi, jika para da’iyah muslimah tidak menyiapkan
potensi itu dari kalangan kaum muslimah sendiri yang telah memiliki komitmen
terhadap gerak dakwah Islam. Alangkah bagusnya jika para da’iyah muslimah
sendiri yang memiliki keahlian di bidang profesi-profesi tersebut.
Demikian pula para da’iyah muslimah perlu mengikuti peta
kekuatan politik internasional, yang setiap saat mengalami perubahan. Tak
jarang dalam waktu kurang dari sehari terjadi perubahan yang drastis pada
sebuah negara, sehingga merubah peta percaturan kekuatan internasional. Hal
seperti itu perlu diikuti perkembangannya untuk diambil pelajaran, bahkan bisa
jadi berubah menjadi momen yang menentukan kejayaan Islam.
Pendek kata keseluruhan ilmu yang bermanfaat bagi dakwah
harus dikuasai kaum muslimah, agar dakwah tidak senantiasa menjadi obyek. Peran
da’iyah muslimah adalah mengarahkan potensi-potensi umat ini sesuai dengan
disipilin keilmuan masing-masing, agar bisa bermanfaat dalam dakwah.
c.
Pengetahuan Keahlian
Pengetahuan keahlian ini lebih spesifik sifatnya. Lebih
baik manakala para da’iyah muslimah banyak menguasai beberapa keahlian yang
bermanfaat dalam dakwah. Misalnya, keahlian dalam merancang strategi perang,
termasuk di dalamnya keahlian menggunakan peralatan-peralatan mutakhir.
Kemajuan teknologi telah menghasilkan bermacam-macam
produk. Semua sarana komunikasi canggih telah tercipta, tentu saja banyak
manfaat dalam dakwah. Hubungan antar kota, antar pulau bahkan
antar negara sekarang bukan lagi merupakan masalah. Sarana tabligh juga semakin
luas, dengan munculnya teknologi radio, televisi, internet, faksimil, telepon
dan media-media cetak.
Jika hal ini dikuasai oleh para da’iyah muslimah tentu
akan semakin menambah kemudahan dalam beberapa hal di lapangan dakwah. Dengan
demikian berbagai wasilah yang tercipta sebagai hasil kemajuan tekonologi, ikut
mendukung program dakwah selama para da’iyah muslimah mampu memiliki kunci
pengetahuan tentangnya.
Secara umum, tiga bentuk pengetahuan itulah yang
memerlukan perhatian untuk pengembangan tsaqafah para da’iyah muslimah. Kita
berharap muncul sosok-sosok da’iyah muslimah yang memiliki intelektual tinggi, sehingga bisa tampil
secara prima di tengah umatnya.
- Persiapan Jasadiyah
Persiapan jasadiyah ini ternyata merupakan bagian
integral dari keseluruhan persiapan yang mesti dilakukan oleh para da’iyah
muslimah. Akan menjadi kendala dalam dakwah, manakala para da’iyah muslimah
lemah fisik sehingga sering terhinggapi penyakit, baik ringan maupun kronis.
Bagi setiap da’iyah muslimah hendaknya melakukan
penjagaan kesehatan secara teratur. Hal ini bisa dilakukan dengan mengkonsumsi
makanan yang halal dan thayib, menjauhkan dari semua makanan atau minuman yang
merusakkan badan. Menjaga kebiasaan diri dengan menghindarkan hal-hal yang
buruk, seperti merokok, dan penggunaan obat–obat psikis. Menguragi minum kopi,
teh, minuman penyegar lainnya, bahkan jika bisa meninggalkan kopi, akan lebih
baik ditinjau dari ilmu kesehatan. Lebih
dari itu, hendaknya juga rajin melakukan riyadhah
(olah raga).
Penjagaan makanan dan minunam ini adalah salah satu cara
untuk memelihara kesehatan tubuh. Pengaturan waktu juga diperlukan untuk
keseimbangan tubuh, termasuk dalam hal ini istirahat yang cukup. Kemudian badan
dipersehat lagi dengan riyadhah. Rasulullah saw bersabda :
“Mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih disukai di sisi Allah daripada mukmin yang lemah” (HR. Muslim).
Riyadhah merupakan kebutuhan jasad, sekaligus melatih
ketrampilan tubuh dalam berbagai macam medan
yang berat. Dari Ibnu ‘Umar ra Rasulullah saw, bersabda :
“Didiklah anak-anakmu berenang dan memanah “
Beliau sendiri adalah seorang yang bertubuh kuat. Pernah
beliau bertarung dengan Rukanah, seorang pegulat sebanyak tiga kali. Pada
pertarungan yang terakhir, Rukanah kalah, kemudian ia berkata, “Kini aku
bersaksi bahwa engkau benar-benar Rasulullah.”
Pada beberapa peperangan yang seru, para sahabat suka berlindung di
balik beliau, karena mereka yakin dengan kekuatan fisik Rasulullah. Bahkan
ketika menggali parit pada saat terjadinya perang Khandaq, para sahabat meminta
bantuan beliau untuk memecahkan batu-batu yang keras dan tidak mempan dengan
pukulan kampak.
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh-musuh Allah., musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang
kamu tidak mengetahui, sedang Allah
mengetahuinya” (Al Anfal: 60),
- Persiapan Maliyah (Materi)
Materi bukanlah segalanya, akan tetapi ia merupakan hal
yang diperlukan bagi kelangsungan dakwah, baik dalam skala individual maupun
kolektif. Setiap langkah dakwah pasti membutuhkan materi, baik berupa uang yang
langsung terlihat, ataupun berbentuk perbekalan yang tidak kelihatan secara
langsung. Seorang da’iyah muslimah yang bertugas melakukan dakwah di tengah
masyarakat salah satunya membutuhkan sarana transportasi, yang berarti
memerlukan bahan bakar dan biaya perawatan lainnya. Kalau pun ia naik kendaraan
umum juga harus membayar, bahkan seandainya jalan kaki, ia harus memiliki
tenaga dari makanan yang dikonsumsi.
Berbagai sarana penunjang kebaikan da’iyah muslimah dan
dakwah juga berhubungan langsung dengan materi. Ketika para da’iyah muslimah
memerlukan tambahan informasi dan pengetahuan setiap harinya, maka ia perlu
mengakses berita lewat media massa,
baik lewat radio, koran harian, tabloid, ataupun televisi dan internet.
Keseluruhannya memerlukan dana pengadaan atau perawatan. Untuk memperlancar
komunikasi, da’iyah muslimah memerlukan telepon atau handphone, sudah pasti ini
pun memerlukan dana rutin. Pendek kata, materi tidak bisa dipungkiri, merupakan
kebutuhan bagi kelangsungan dan kelancaran dakwah.
Bahkan kebutuhan akan makan itu sendiri. Apabila da’iyah
muslimah kekurangan ekonomi sehingga kesulitan untuk makan, pasti akan berpengaruh
terhadap kualitas dakwahnya. Belum lagi ketika ia memiliki tanggungan isteri
dan anak-anak yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya, sang da’iyah muslimah
akan terhambat melakukan banyak kegiatan karena perhatian dan pikiran yang
terkonsentrasi pada persoalan perut tersebut.
Suatu gejala buruk yang ada pada aktivis dakwah adalah
ketika ia terbiasa menggantungkan diri secara ekonomi kepada pihak lain, baik
orang tua maupun pihak-pihak lainnya. Hal semacam ini lazim terjadi pada
aktivis dakwah yang tidak memiliki penghasilan sendiri, atau masih dalam masa
studi. Mereka biasa mendapatkan jatah beaya hidup per bulan dari orang tua atau
keluarga, atau pihak yang lain.
Ketergantungan seperti ini semestinya perlahan-lahan
dikurangi dengan jalan usaha sendiri, hingga akhirnya sama sekali tak memiliki
ketergantungan terhadap pihak manapun. Kerugian yang diderita apabila seorang
aktivis dakwah menggantungkan dirinya pada orang lain adalah ketidaksiapan
hidup mandiri ketika tiba-tiba hubungan ekonomi tersebut diputuskan secara
sepihak. Kerugian yang lain, da’iyah muslimah akan banyak mendapatkan pesan
sponsor dari pemberi dana tersebut, karena merasa telah membeayai sehingga
berhak mengatur sebagian atau bahakan keseluruhan hidupnya. Di mana letak ‘izzah
(kemuliaan)nya sebagai aktivis dakwah jika segalanya serba diatur orang lain,
yang belum tentu sesuai dengan tuntunan Islam ?
Tak jarang seseorang tasaquth (gugur) dari jalan
dakwah karena faktor ekonomi ini. Semasa masih dalam proses studi, biaya terus
mengalir secara rutin dari orang tua, namun begitu ia lulus tiba-tiba dana
tersebut terhenti sama sekali. Atau dana terhenti setelah melihat pola dan
pandangan hidup yang berbeda. Pada saat semacam ini baru ia mulai berpikir
bagaimana mendapatkan uang untuk tetap hidup dan eksis dalam gerak dakwah.
Namun kadang-kadang kenyataan hidup ini terasa begitu pahit baginya, yang
memang belum pernah belajar mandiri. Perlahan-lahan idealismenya luntur, dan
selangkah demi selangkah meninggalkan medan
dakwah.
Rasulullah sejak dini telah memberikan teladan kepada
para da’iyah muslimah, bahwa memang mereka tak layak untuk hidup tergantung
dari pemberian orang lain. Dalam kehidupan ekonomi, kita menyaksikan latar
belakang beliau amat baik. Sejak kecil telah berlatih mandiri. Di masa kecil
beliau menggembala kambing untuk nafkah hidupnya. Tentang hal ini beliau
bersabda :
“Aku memelihara kambing di kawasan penggembalaan
Makah.”
Dalam usia dua belas tahun, Rasulullah telah menyertai
pamannya berdagang ke Syam. Mengomentari peristiwa ini, Al Buthy menyatakan, “Karena itu, para aktivis dakwah merupakan
orang yang paling patut mencari ma’isyah (penghidupan) melalui usaha
mandiri dari sumber yang mulia yang
tidak mengandung unsur meminta-minta, agar mereka tak berutang budi kepada
seseorang pun, yang menghalanginya dari menyatakan kebenaran di hadapan para
“investor budi“ tersebut”.
Dalam usia dewasa beliau mengadakan usaha dagang dengan
harta Khadijah, yang kelak dinikahinya. Ini merupakan contoh kongkrit bagi para
da’iyah muslimah agar memiliki kehidupan ekonomi yang mandiri, sehingga tak
tergantung kepada siapapun, kecuali kepada Allah swt. Islam sangat
memperhatikan masalah kemampuan mandiri ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengisyaratkan :
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di
muka bumi dan Kami adakan bagimu itu (sumber) penghidupan” (Al A’raf: 10).
Pernah suatu ketika Rasulullah ditanya seseorang, “Ya Rasulullah, pekerjaan apa yang terbaik
?” Maka beliau menjawab :
“Pekerjaan yang terbaik adalah usaha seseorang dengan
tangannya sendiri dan semua penjual beli yang baik” (HR. Ahmad, Baihaqi dan
lain-lain).
Khalifah Umar bin Khathab ra pernah berkata :
”Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu hanya
duduk-duduk saja dan tidak berusaha untuk mencari rizki dan hanya berdoa : ‘ Ya
Allah berilah hamba rizki !’ Tahukah
kamu, dan semua telah tahu bahwa langit itu tak akan menurunkan hujan berupa
emas atau perak .”
Berusaha dengan jerih payah sendiri merupakan kewajiban
bagi setiap da’iyah muslimah, agar lebih memberikan peluang kepadanya untuk
lebih leluasa di dalam berdakwah, tanpa keterikatan dalam ekonomi. Tak layak
untuk menggantungkan harapan hidup dari dakwah, sebab itu bukan tabi’at dari
Islam. Setiap Nabi senantiasa mengungkapkan hal tersebut kepada umatnya :
“Dan aku sekali-kali tidak meminta upah dari
ajakan-ajakan itu ; upahku tak lain adalah dari Tuhan semesta alam” (Asy Syu’ara: 109,145,164,180).
Oleh karena itu sejak dini perlu dilatih dan
dikondisikan agara perlahan-lahan usaha ini bisa kian terbuka bagi para aktivis
dakwah. Ibnu Mas’ud ra pernah berkata, “Saya
benar-benar benci melihat kalau melihat orang hanya menganggur saja, tak
berusaha untuk kepentingan dan urusan keduniaannya dan tidak pula berusaha
untuk akhirat.”
Nabi saw menyatakan bahwa burungpun suka mengusahakan
rizkinya sendiri.
‘Berangkat pagi-pagi dengan perut kosong dan pulang
sore-sore dengan perut kenyang’ (riwayat Tirmidzi dan Ibnu
Majah).
Mereka harus keluar pagi-pagi untuk mencari makan,
hingga ketika sore pulang perut mereka telah kenyang. Tidak layak kegiatan
dakwah dijadikan kambing hitam untuk tidak mencari rizki. Justru dakwah akan
semakin bisa berjalan dengan optimal apabila para pelaku dakwah telah mampu
mandiri menghidupi diri, keluarga dan
apalagi dakwahnya.
Demikianlah persiapan maliyah amat diperlukan dalam
dakwah, agar para da’iyah muslimah semakin tegar di jalan dakwah.