Bagaimana pandangan Ibnu Qoyyim tentang hal ini ? Kata Ibnu Qoyyim, ” Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta. Malah, cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan. Karena bila keduanya telah merasakan kenikmatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya. “
” Bohong !” Itulah pandangan mereka guna membela hawa nafsunya yang dimurkai Allah, yakni berpacaran. Karena mereka telah tersosialisasi dengan keadaan seperti ini, seolah-olah mengharuskan adanya pacaran dengan bercintaan secara haram. Bahkan lebih dari itu mereka berani mengikrarkan, bahwa cinta yang dilahirkan bersama dengan sang pacar adalah cinta suci dan bukan cinta birahi. Hal ini didengung-dengungkan, dipublikasikan dalam segala bentuk media, entah cetak maupun elektronika. Entah yang legal maupun ilegal. Padahal yang diistilahkan kesucian dalam islam adalah bukanlah semata-mata kepemudaan, kegadisan dan selaput dara saja. Lebih dari itu, kesucian mata, telinga, hidung, tangan dan sekujur anggota tubuh, bahkan kesucian hati wajib dijaga. Zinanya mata adalah berpandangan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, zinanya hati adalah membayangkan dan menghayal, zinannya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim. Dan pacaran adalah refleksi hubungan intim, dan merupakan ring empuk untuk memberi kesempatan terjadinya segala macam zina ini.
Rasulullah bersabda,
” Telah tertulis atas anak adam nasibnya dari hal zina. Akan bertemu dalam hidupnya, tak dapat tidak. Zinanya mata adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berkata, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah berjalan, zina hati adalah ingin dan berangan-angan. Dibenarkan hal ini oleh kelaminnya atau didustakannya.”
Jika kita sejenak mau introspeksi diri dan mengkaji hadist ini dengan kepala dingin maka dapat dipastikan bahwa segala macam bentuk zina terjadi karena motivasi yang tinggi dari rasa tak pernah puas sebagai watak khas makhluk yang bernama manusia. Dan kapan saja, diman saja, perasaan tak pernah puas itu selalu memegang peranan. Seperti halnya dalam berpacaran ini. Pacaran adalah sebuah proses ketidakpuasan yang terus berlanjut untuk sebuah pembuktian cinta. Kita lihat secara umum tahapan dalam pacaran.
Perjumpaan pertama, yaitu perjumpan keduanya yang belum saling kenal. Kemudian berkenalan baik melalui perantara teman atau inisiatif sendiri. hasrat ingin berkenalan ini begitu menggebu karena dirasakan ada sifat2 yang menjadi sebab keduanya merasakan getaran yang lain dalam dada. Hubungan pun berlanjut, penilaian terhadap sang kenalan terasa begitu manis, pertama ia nilai dengan daya tarik fisik dan penampilannya, mata sebagai juri. Senyum pun mengiringi, kemudian tertegun akhirnya , akhirnya jantung berdebar, dan hati rindu menggelora. Pertanyaan yang timbul kemudaian adalah kata-kata pujian, kemudian ia tuliskan dalam buku diary, “Akankah ia mencintaiku.” Bila bertemu ia akan pandang berlama-lama, ia akan puaskan rasa rindu dalam dadanya.
Pengungkapan diri dan pertalian, disinilah tahap ucapan I Love You, “Aku mencintaimu”. Si Juliet akan sebagai penjual akan menawarkan cintanya dengan rasa malu, dan sang Romeo akan membelinya dengan, “I Love You”. Jika Juliet diam dengan tersipu dan tertunduk malu, maka sang Romeo pun telah cukup mengerti dengan sikap itu. Kesepakatan pun dibuat, ada ijin sang romeo untuk datang kerumah, “Apel Mingguan atau Wakuncar “. Kapan pun sang Romeo pengin datang maka pintu pun terbuka dan di sinilah mereka akan menumpahkan perasaan masing-masing, persoalanmu menjadi persoalannya, sedihmu menjadi sedihnya, sukamu menjadi riangnya, hatimu menjadi hatinya, bahkan jiwamu menjadi hidupnya. Sepakat pengin terus bersama, berjanji sehidup semati, berjanji sampai rumah tangga. Asyik dan syahdu.
Pembuktian, inilah sebuah pengungkapan diri, rasa cinta yang menggelora pada sang kekasih seakan tak mampu untuk menolak ajakan sang kekasih. ” buktikan cintamu sayangku”. Hal ini menjadikan perasaan masing-masing saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan diantara keduanya. Bila sudah seperti ini ajakan ciuman bahkan bersenggama pun sulit untuk ditolak. Na’udzubillah
Begitulah akhirnya mereka berdua telah terjerumus dalam nafsu syahwat, tali-tali iblis telah mengikat. Mereka jadi terbiasa jalan berdua bergandengan tangan, canda gurau dengan cubit sayang, senyum tawa sambil bergelayutan, dan cium sayang melepas abang. Kunjungan kesatu, kedua, ketiga, keseratus, keseribu, dan yang tinggal sekarang adalah suasana usang, bosan, dan menjenuhkan percintaan . Segalanya telah diberikan sang juliet, Juliet pun menuntut sang Romeo bertanggung jawab ? Ternyata sang romeo pergi tanpa pesan walaupun datang dengan kesan. Sungguh malang nasib Juliet.
Wahai para Muslimah sadarlah akan lamunan kalian , bayang-bayang cinta yang suci, bukanlah dengan pacaran , cobalah pikirkan buat kamu muslimah yang masih bergelimang dengan pacaran atau kalian wahai pemuda yang suka gonta-ganti pacar. Cobalah jawab dengan hati jujur pertanyaan-pertanyaan berikut dan renungkan ! Kami tanya :
Apakah kamu dapat berlaku jujur tentang hal adegan yang pernah kamu kamu lakukan waktu pacaran dengan si A,B,C s/d Z kepada calon pasangan yang akan menjadi istri atau suami kamu yang sesungguhnya ? Kalau tidak kenapa kamu berani mengatakan, pacaran merupakan suatu bentuk pengenalan kepribadian antara dua insan yang saling jatuh cinta dengan dilandasi sikap saling percaya ? Sedangkan kenapa kepada calon pasangan hidup kamu yang sesungguhnya kamu berdusta ? Bukankah sikap keterbukaan merupakan salah satu kunci terbinanya keluarga sakinah?
Mengapa kamu pusing tujuh keliling untuk memutuskan seseorang menjadi pendamping hidupmu ? Apakah kamu takut mendapat pendamping yang setelah sekian kali pindah tangan ? ” Aku ingin calon pendamping yang baik-baik” Kamu katakan seperti ini tapi mengapa kamu begitu gemar pacaran, hingga melahirkan korban baru yang siap pindah tangan dengan kondisi ” Aku bukan calon pendamping yang baik” , bekas dari tanganmu, sungguh bekas tanganmu ?
Jika kamu disuruh memilih diantara dua calon pasangan hidup kamu antara yang satu pernah pacaran dan yang satu begitu teguh memegang syari’at agama, yang mana yang akan kamu pilih ? Tentu yang teguh dalam memegangi agama, ya Khan ? Tapi kenapa kamu berpacaran dengan yang lain sementara kamu menginginkan pendamping yang bersih ?
Bagaimana perasaan kamu jika mengetahui istri/ suami kamu sekarang punya nostalgia berpacaran yang sampai terjadi tidak suci lagi ? Tentu kecewa bukan kepalang. Tetapi mengapa sekarang kamu melakukan itu kepada orang yang itu akan menjadi pendamping hidup orang lain ?
Kalaupun istri/suami kamu sekarang mau membuka mulut tentang nostalgia berpacaran sebelum menikah dengan kamu. Apakah kamu percaya jika dia bilang kala itu kami berdua hanya bicara biasa-biasa saja dan tidak saling bersentuhan tangan ? Kalau tidak kenapa ketika pacaran bersentuhan tangan dan berciuman kamu bilang sebagai bumbu penyedap ?
Jika kamu nantinya sudah punya anak apakah rela punya anak yang telah ternoda ? Kalau tidak kenapa kamu tega menyeret Ortu kamu ke dalam neraka Api Allah ? Kamu tuntut mereka di hadapan Allah karena tidak melarang kamu berpacaran dan tidak menganjurkan kamu untuk segera menikah.
Karena itu wahai muslimah dan kalian para pemuda kembalilah ke fitrah semula. Fitrah yang telah menjadi sunattullah, tidak satupun yang lari daripadanya melainkan akan binasa dan hancur.http://www.blogger.com/img/blank.gif
Adapted from : www.dudung.net
Showing posts with label pecetika1432. Show all posts
Showing posts with label pecetika1432. Show all posts
6.23.2011
6.13.2011
Ikhlas Dalam Beramal
Diriwayatkan dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])
Faedah Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ al-’Ulum, hal. 13)
Ibnu as-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak akan bisa membuahkan pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 39-40)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits ini juga merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).
Macam-Macam Niat
Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].
Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain. Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini akan terbedakan antara perbuatan ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan jenis ibadah lainnya. Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih.
Sedangkan niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam al-Qur’an, niat semacam ini diungkapkan dengan kata-kata iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari). (Diringkas dari keterangan Syaikh as-Sa’di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami’ al-’Ulum oleh Ibnu Rajab hal. 16-17)
Pentingnya Ikhlas
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya. Maka beliau pun berdoa kepada Allah, “Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.” (Kitab Az Zuhd Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)
Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, “Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau, maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid, “Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri maka ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Ad Daruquthni rahimahullah mengatakan, “Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, “Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang salih adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Di dalam biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, “Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Seorang ulama mengatakan, “Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ’sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dahttp://www.blogger.com/img/blank.gifn buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” (Al Fawa’id, hal. 158).
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)
***
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])
Faedah Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ al-’Ulum, hal. 13)
Ibnu as-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak akan bisa membuahkan pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 39-40)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits ini juga merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).
Macam-Macam Niat
Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].
Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain. Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini akan terbedakan antara perbuatan ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan jenis ibadah lainnya. Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih.
Sedangkan niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam al-Qur’an, niat semacam ini diungkapkan dengan kata-kata iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari). (Diringkas dari keterangan Syaikh as-Sa’di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami’ al-’Ulum oleh Ibnu Rajab hal. 16-17)
Pentingnya Ikhlas
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya. Maka beliau pun berdoa kepada Allah, “Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.” (Kitab Az Zuhd Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)
Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, “Semoga saja, ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau, maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid, “Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri maka ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Ad Daruquthni rahimahullah mengatakan, “Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, “Penyakit hati yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang salih adalah suka mendapat kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Di dalam biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan, “Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Seorang ulama mengatakan, “Orang yang benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ’sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dahttp://www.blogger.com/img/blank.gifn buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” (Al Fawa’id, hal. 158).
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)
***
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
6.13.2010
Mari Berinternet Sehat
Astaghfirullah, kenapa harus Indonesia yang terkenal dengan perilaku negatifnya. Bangsa ini telah tercoreng dengan suatu hal negatif yang telah tersebar di dunia. Mengapa bangsa Indonesia selalu berprestasi untuk hal-hal yang bathil. Sudah saatnya, kita memperbaiki akhlak kita dan mengintropeksi diri agar dijauhkan dari perilaku-perilaku yang buruk ini.
Masyarakat menjadi resah, khususnya dikalangan orang tua. Mereka takut kalau anaknya mengakses konten yang berbau pornografi, penyesatan, SARA, dll. Banyak dari mereka bingung karena mereka tidak mungkin mengawasi anaknya secara penuh. Mereka harus bekerja untuk menghidupi keluarga. Lantas apakah kita akan menyerah begitu saja?
Tidak! Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk mengatasi masalah ini. Alhamdulillah, terdapat suatu LSM yang menyediakan layanan filter/penyaring untuk konten negatif. Salah satunya yang diprovide oleh Nawala Project yakni DNS Nawala dengan dukungan PT TELKOM. DNS ini juga sangat direkomendasikan oleh Menkominfo, Bapak Ir. Tifatul Sembiring.
Nawala Project adalah sebuah layanan yang bebas digunakan oleh pengguna internet yang membutuhkan saringan konten negatif. Nawala Project secara spesifik akan memblokir jenis konten negatif yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan, nilai dan norma sosial, adat istiadat dan kesusilaan bangsa Indonesia seperti pornografi dan perjudian. Selain itu, Nawala Project juga akan memblokir situs Internet yang mengandung konten berbahaya seperti malware, situs phising (penyesatan) dan sejenisnya.
Perlindungan pengguna, terutama anak-anak menjadi perhatian utama Nawala Project. Dengan adanya layanan ini diharapkan Internet dapat menjadi tempat yang lebih aman dan nyaman agar dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Indonesia untuk mempercepat kemajuan serta kesejahteraan.
Layanan ini sejak awal dirancang untuk menerima masukan langsung dari komunitas internet dan Masyarakat Umum yang menjadi pengguna layanan. Masukan inilah yang ditelaah oleh Tim Nawala Project untuk menentukan apakah sebuah situs layak di filter atau tidak.
Bagi anda pengguna Windows berikut cara pemakaiannya :
- Pilih Control Panel dari Start menu.
- Klik Network Connections yang ada di Control Panel.
- Pilih koneksi yang ada dari jendela Network Connections.
- Klik tombol Properties.
- Pilih lah Internet Protocol (TCP/IP) dan klik Properties.
- Klik radio button pada Use the following DNS server addresses dan ketikkan alamat DNS Nawala pada kolom Preferred DNS server dan Alternate DNS server.
Selain itu, kita dapat menggunakan software parental control. Di Internet banyak disediakan piranti lunak ini, salah satunya parental control bar. Anda dapat mengunduhnya secara gratis.
Yang terakhir, sudah pasti kita harus meningkatkan iman kita agar dijauhkan dari hal-hal negatif. Meskipun kita telah melakukan berbagai cara untuk mem-filter situs negatif, namun apalah kata jikalau kita tak beriman.
(Sebagian artikel mengambil dari http://www.nawala.org/ dan http://kotalayakanak.org/)
12.29.2009
Telur dan Cangkangnya
Bukan cangkang tujuan Allah menciptakannya, tapi isinya itulah tujuan diciptakannya. Semakin kokoh cangkangnya semakin terlindungi isinya, namun jika terlalu kuat cangkangnya maka semakin sulit kita memecahkannya, dan tidak mungkin kita memanfaatkannya. Namun sehebat apapun cangkangnya, sekokoh apapun kulitnya. Tidak akan ada manfaatnya jika tidak Ada isinya. Ketika Suatu saat pecah, orang akan tau betapa busuknya telor itu, dan tak ada satupun yang mau mendekat.
Amanah kita, jabatan kita, harta kita, pakaian kita semua yang dhohir yang ada pada kita, termasuk pujian dan hinaan yang singgah kepada kita semua adalah cangkangnya. Tetapi jangan menjadikan semua cangkang itu semakin mendominasi kita menjadikan kita sulit untuk mengambil manfaatnya dari isinya. Jangan pula kita terlalu terlena dengan cangkang-cangkang itu dan melupakan semua isi yang kita miliki. Jika tidak maka kebusukan akan segera tercium dan setiap orang akan meninggalkan diri kita ketika setiap orang tahu siapa diri kita.
Amanah kita, jabatan kita, harta kita, pakaian kita semua yang dhohir yang ada pada kita, termasuk pujian dan hinaan yang singgah kepada kita semua adalah cangkangnya. Tetapi jangan menjadikan semua cangkang itu semakin mendominasi kita menjadikan kita sulit untuk mengambil manfaatnya dari isinya. Jangan pula kita terlalu terlena dengan cangkang-cangkang itu dan melupakan semua isi yang kita miliki. Jika tidak maka kebusukan akan segera tercium dan setiap orang akan meninggalkan diri kita ketika setiap orang tahu siapa diri kita.
12.22.2009
Agar Anak Tidak Menjadi Teroris

Betapa hancur hati kedua orangtua, tatkala dikabarkan kepada mereka ternyata anaknya –yang selama ini dikenal sebagai anak baik-baik dan pendiam– diciduk aparat kepolisian karena terlibat jaringan terorisme. Orangtua yang lain pun shock begitu mendengar anaknya tewas dalam aksi peledakan. Sementara itu, teman-temannya serasa tidak percaya mendengar berita bahwa anak yang selama ini mereka kenal sebagai anak baik, supel, dan ramah, ternyata terlibat aksi terorisme!!
Demikianlah, betapa menyedihkan. Nyata jaringan terorisme telah berhasil menyeret anak-anak baik dari putra-putra kaum muslimin dalam aksi biadab yang bertentangan dengan agama dan akal sehat tersebut.
Tentunya, kita bertanya-tanya bagaimana anak-anak muslimin bisa terseret jaringan terorisme? Melalui pintu apa terorisme bisa masuk ke alam pikiran mereka sehingga mereka tertarik dan mau mengikutinya?
Pembaca, kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala…
Akar munculnya terorisme adalah dari paham sempalan Khawarij. Suatu paham ekstrem dalam beragama, yang membuahkan sikap merasa benar sendiri, kemudian serampangan dalam memahami dan mengamalkan dalil-dalil syariat, lepas dari bimbingan para ulama, yang berujung pada pengkafiran semua pihak yang bertentangan dengan pendapatnya, termasuk mengkafirkan pemerintah kaum muslimin.
Gerakan terorisme yang pertama kali muncul dalam sejarah Islam adalah di akhir masa Khilafah ’Utsman bin ’Affan radhiyallahu ‘anhu, yang diprakarsai oleh seorang Yahudi, Abdullah bin Saba’, dengan menampilkan slogan keadilan dan benci kezaliman. Sebagai korban pertama kali adalah sang khalifah Utsman bin ’Affan radhiyallahu ‘anhu sendiri! Kemudian semakin gencar pada masa kekhalifahan ’Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yang beliau sendiri pun menjadi korban aksi terorisme tersebut. Merekalah kelompok sempalan Khawarij, yang tumbuh menggerogoti dan menghancurkan Islam. Di atas paham mengkafirkan orang-orang yang bertentangan dengan mereka, dan berlanjut menghalalkan darah mereka, terutama pemerintah muslimin, yang telah mereka vonis sebagai pemerintah kafir. Itu semua mereka lakukan atas nama agama.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari telah memberitakan kemunculan kelompok sesat ini, lengkap dengan ciri-ciri dan sifat-sifatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ، يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
”Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang muda-muda umurnya, pendek akalnya. Mereka mengatakan ucapan sebaik-baik manusia. Mereka membaca Al-Qur’an, tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah menembus binatang buruannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3611, 5057, 6930; Muslim no. 1066)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati mereka sebagai:
هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيْقَةِ
”Mereka adalah sejahat-jahat makhluk.” (HR. Muslim no. 1067)
Maka apabila pada anak-anak kaum muslimin ada kecenderungan mengkritisi pemerintah muslimin, selalu menentang kebijakan pemerintah muslimin, bahkan berani memvonis kafir terhadap pemerintah muslimin tanpa bimbingan para ulama, maka hati-hati dan waspadalah! Ini merupakan bibit paham takfir (mudah mengkafirkan kaum muslimin), yang merupakan benih awal untuk seseorang berani menghalalkan darah pemerintah muslimin dan siapapun yang mereka anggap membela dan mendukung pemerintah. Ujung-ujungnya, mengantarkan mereka untuk berani melakukan aksi kekerasan yang dilabeli sebelumnya sebagai jihad. Inilah awal mula seseorang terseret dalam aksi terorisme.
Kesalahan fatal berikutnya, yang mengantarkan anak-anak kaum muslimin untuk tertarik dengan gerakan terorisme adalah semangat berjihad yang besar dan kebencian yang besar terhadap orang-orang kafir, namun tidak disertai dengan pemahaman yang benar tentang apa itu jihad, bagaimana aturan Islam tentang masalah jihad, serta orang kafir manakah yang boleh untuk diperangi?
Tidak diragukan lagi, bahwa jihad merupakan puncak Islam yang tertinggi. Orang-orang kafir adalah musuh-musuh Islam yang harus dibenci dan diperangi oleh kaum muslimin. Namun, dalam agama Islam ada aturan dan tuntunan yang harus dipahami dengan benar dan tidak boleh dilanggar. Hal inilah yang tidak dipahami dengan baik oleh mereka yang terlibat dalam aksi terorisme tersebut. Karena memang di antara sifat dan ciri-ciri mereka adalah pendek akalnya dan cupet (Bhs. Jawa: dangkal) cara pandangnya. Tak heran bila aksi terorisme (baca: kebodohan) yang mereka lakukan tersebut merusak citra Islam dan mencemarkan nama baik kaum muslimin, terkhusus lagi nama baik orang-orang yang istiqamah di atas agamanya.
Sebagai contoh, bahwa dalam syariat Islam tidak semua orang kafir boleh dibunuh. Kafir dzimmi, kafir mu’ahad, dan kafir musta’min, dalam Islam jiwanya terlindungi, tidak boleh dibunuh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh seorang kafir mu’ahad, maka dia tidak akan mencium aroma wangi jannah (surga). (Padahal) sesungguhnya aroma wangi jannah itu didapati (tercium) sejauh perjalanan 40 tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 3166, 6914, An-Nasa’i no. 4764, Ibnu Majah no. 2736, dan Ahmad 5/36)
Adapun orang kafir yang boleh diperangi dan dibunuh adalah kafir harbi, yaitu orang-orang kafir yang memerangi muslimin, tidak ada antara muslimin dengan mereka perjanjian, dzimmah, tidak pula jaminan keamanan.
Kita perlu waspada pula, apabila seorang mulai kagum dan mengidolakan tokoh-tokoh teroris semacam Usamah bin Laden, Aiman Azh-Zhawahiri, seraya menganggapnya sebagai tokoh ulama besar yang diikuti ucapan dan fatwa-fatwanya. Sebagai contoh, aktor peledakan bom Bali yang bernama Imam Samudra. Dia menganggap tokoh-tokoh teroris panutannya di atas sebagai ulama dan menyejajarkannya dengan para ulama besar Ahlus Sunnah. Padahal, sifat dasar para khawarij, pelaku aksi teror tersebut ,adalah sama sekali lepas dari bimbingan para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam memahami dan mengaplikasikan dalil-dalil syariat.
Lebih rumit lagi, orang-orang yang terlibat dalam jaringan terorisme, ternyata bukanlah orang-orang yang jauh dari agama. Sebaliknya mereka adalah orang yang zhahirnya sangat dekat kepada agama, menampakkan syi’ar-syi’ar Islam dalam penampilan dan pakaian mereka, serta sangat rajin beribadah. Bahkan aksi teror yang mereka lakukan tersebut diyakini dalam rangka memperjuangkan Islam dan merupakan bagian dari ajaran Islam!!
Sikap komitmen terhadap ajaran agama, berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sikap yang harus kita jalankan. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menjauh atau apriori terhadap Islam dan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sikap berpegang teguh terhadap agama tersebut harus berdasarkan manhaj (metode pemahaman) yang benar, dengan bimbingan para ulama sejati dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Alhamdulillah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggalkan umatnya di atas petunjuk yang sangat jelas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan:
وَايْمُ اللهِ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا وَنَهَارُهَا سَوَاءٌ
“Demi Allah, aku tinggalkan kalian di atas (agama) yang terang-benderang. Kondisi malam dan siangnya sama.” (HR. Ibnu Majah no. 5. Lihat Ash-Shahihah no. 688)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menggariskan manhaj yang benar dalam memahami dan mengaplikasikan agama ini, yaitu dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتَلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
”Sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), dia akan mendapati perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnah (bimbingan)ku dan sunnah para Khulafa’ Rasyidin sepeninggalku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676. Lihat Ash-Shahihah no. 937)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda tentang jalan yang benar dalam memahami Islam:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
”Jalan/prinsip yang aku (Rasulullah) berada di atasnya hari ini dan juga para sahabatku.” (HR. At-Tirmidzi no. 2641, Ath-Thabarani 1/256. Lihat Ash-Shahihah no. 203, 204)
Jika kita tidak memerhatikan prinsip di atas, akan menyebabkan salah dalam memahami dan mengaplikasikan dalil-dalil agama yang membuahkan sikap ekstrem dan menyimpang dalam beragama.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencela sikap ekstrem tersebut dalam sabda beliau:
“Binasalah orang-orang yang ekstrem, binasalah orang-orang yang ekstrem, binasalah orang-orang yang ekstrem.” (HR. Muslim no. 2670). Wallahu a’lam.
(diambil dari www.assalafy.org)
HUKUM MEMPERINGATI HARI IBU
Oleh: Asy-Syaikh Muhammadn bin Sholih Al-’Utsaimin
Dengan semakin gencarnya iklan-iklan yang menyerukan peringatan hari ibu di negeri ini (Kuwait), maka sebagai realitas dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
الدين النصيحة, قلنا: لمن؟ قال: “لله, ولكتابه, ولرسوله, ولأئمة المسلمين, وعامتهم” (رواه مسلم).
“Agama adalah nasehat”. Kami bertanya:’Bagi siapa?’, Rasul bersabda:”Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan umumnya mereka” (HR. Muslim).
Berikut kami nukilkan fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahullah Ta’ala berkenaan dengan peringatan hari ibu.
Soal: Apa hukum memperingati hari ibu?
Jawab: Sesugguhnya setiap hari raya yang menyelisihi hari raya syar’I adalah bid’ah semuanya, tidak dikelnal dimasa salafus sholih. Bahkan bisa jadi, hari raya itu berasal dari non muslim yang di dalamnya terdapat kebid’ahan dan tasyabuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hari raya syar’I yang dikenal umat Islam adalah; Idul Fithri, Adul Adhah dan Ied dalam sepekan yaitu hari Jum’at. Di dalam Islam tidak ada hari raya kecuali hanya tiga, semua perayaan yang ada selain yang tiga ini adalah tertolak dan bathil menurut syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
”Barangsiapa yang mengadakan perkara-perkara yang baru dalam urusanku ini (Islam) yang tidak bersumber darinya, maka amalan tersebut akan tertolak”.
Dalam riwayat lain berbunyi:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan dari urusanku (Islam), maka amalan tersebut tertolak”.
Bila hal itu dijelaskan, maka perayaan hari ibu tidak diperbolehkan. Tidak boleh mengadakan simbol-simbol perayaan seperti kegembiraan, kebahagiaan, penyerahan hadiah dan lain sebagainya. Seorang muslim wajib memuliakan agamanya dan bangga dengannya dan hendaknya membatasi diri dengan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dalam agama yang lurus yang telah diridloi Allah Ta’ala untuk hamba-Nya, tidak ditambah maupun dikurangi.
Seorang muslim seharusnya tidak ikut-ikutan, mengikuti setiap bunyi burung gagak. Tetapi haruslah membentuk kepribadiannya sesuai dengan ketentuan syari’at Allah Azza wa Jalla, sehingga menjadi ikutan, bukan sekedar menjadi pengikut, menjadi contoh bukan yang mencontoh. Karena syari’at Allah –alhamdulillah- adalah sempurna dilihat dari sisi manapun, sebagiaman firman Allah:
…الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (3) سورة المائدة
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridloi Islam itu menjadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3).
Haknya seorang ibu lebih besar daripada sekedar disambut sehari dalam setahun. Bahkan seorang ibu mempunyai hak yang harus dilakukan oleh anak-anaknya, yaitu memelihara dan memperhatikannya serta menta’atinya dalam hal-hal yang tidak maksiat kepada Allah Azza wa Jalla disetiap waktu dan tempat.
Dinukil dari Majmu’ Fatawa, 2/300-301 soal no. 353.
Dengan semakin gencarnya iklan-iklan yang menyerukan peringatan hari ibu di negeri ini (Kuwait), maka sebagai realitas dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
الدين النصيحة, قلنا: لمن؟ قال: “لله, ولكتابه, ولرسوله, ولأئمة المسلمين, وعامتهم” (رواه مسلم).
“Agama adalah nasehat”. Kami bertanya:’Bagi siapa?’, Rasul bersabda:”Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan umumnya mereka” (HR. Muslim).
Berikut kami nukilkan fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahullah Ta’ala berkenaan dengan peringatan hari ibu.
Soal: Apa hukum memperingati hari ibu?
Jawab: Sesugguhnya setiap hari raya yang menyelisihi hari raya syar’I adalah bid’ah semuanya, tidak dikelnal dimasa salafus sholih. Bahkan bisa jadi, hari raya itu berasal dari non muslim yang di dalamnya terdapat kebid’ahan dan tasyabuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hari raya syar’I yang dikenal umat Islam adalah; Idul Fithri, Adul Adhah dan Ied dalam sepekan yaitu hari Jum’at. Di dalam Islam tidak ada hari raya kecuali hanya tiga, semua perayaan yang ada selain yang tiga ini adalah tertolak dan bathil menurut syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
”Barangsiapa yang mengadakan perkara-perkara yang baru dalam urusanku ini (Islam) yang tidak bersumber darinya, maka amalan tersebut akan tertolak”.
Dalam riwayat lain berbunyi:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan dari urusanku (Islam), maka amalan tersebut tertolak”.
Bila hal itu dijelaskan, maka perayaan hari ibu tidak diperbolehkan. Tidak boleh mengadakan simbol-simbol perayaan seperti kegembiraan, kebahagiaan, penyerahan hadiah dan lain sebagainya. Seorang muslim wajib memuliakan agamanya dan bangga dengannya dan hendaknya membatasi diri dengan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dalam agama yang lurus yang telah diridloi Allah Ta’ala untuk hamba-Nya, tidak ditambah maupun dikurangi.
Seorang muslim seharusnya tidak ikut-ikutan, mengikuti setiap bunyi burung gagak. Tetapi haruslah membentuk kepribadiannya sesuai dengan ketentuan syari’at Allah Azza wa Jalla, sehingga menjadi ikutan, bukan sekedar menjadi pengikut, menjadi contoh bukan yang mencontoh. Karena syari’at Allah –alhamdulillah- adalah sempurna dilihat dari sisi manapun, sebagiaman firman Allah:
…الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (3) سورة المائدة
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridloi Islam itu menjadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3).
Haknya seorang ibu lebih besar daripada sekedar disambut sehari dalam setahun. Bahkan seorang ibu mempunyai hak yang harus dilakukan oleh anak-anaknya, yaitu memelihara dan memperhatikannya serta menta’atinya dalam hal-hal yang tidak maksiat kepada Allah Azza wa Jalla disetiap waktu dan tempat.
Dinukil dari Majmu’ Fatawa, 2/300-301 soal no. 353.
12.21.2009
Bulan Muharram (disebut Suro, Jw) Bukan Bulan Sial
“Bulan Muharram telah tiba, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Begitulah kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan hajatan, mereka memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya, mereka menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram (Suro) yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip dari agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh agama?
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.
Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran.
Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)
Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)
Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.
Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)
Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.
Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=31)
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.
Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran.
Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)
Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)
Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.
Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)
Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.
Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=31)
Kiamat 2012 Mengguncang Aqidah

Kiamat 2012 mengguncang dunia, demikian headline di beberapa media massa akhir-akhir ini, ternyata isi beritanya tentang sambutan gegap gempita dari masyarakat dunia terhadap sebuah film yang bercerita tentang terjadinya kiamat pada tahun 2012 . Film ini diangkat dari ramalan bangsa Maya kuno paganis yang berasal dari Meksiko, bahwa “kiamat” yang dimaksud akan terjadi pada 21 Desember 2012.
Berbicara tentang ramalan kiamat sebenarnya bukan hal baru, banyak sekali paranormal dan tukang ramal sejak dulu telah menyesatkan masyarakat dengan ramalan waktu terjadinya kiamat, namun satu yang pasti: semua ramalan tersebut tidak pernah terbukti sama sekali. Anehnya masih banyak juga yang mau percaya, bahkan rela merogoh kocek hanya demi menonton film tersebut.
Meski kami tahu, alhamdulillah kaum muslimin pada umumnya tidak mudah terpengaruh untuk percaya dengan ramalan-ramalan tersebut, bahkan ada seorang muslim yang sangat awam mengatakan, “kiamat di tangan Allah bukan di tangan orang-orang Hollywood”.
Akan tetapi kewajiban kita sebagai muslim untuk saling menasihati, mengingatkan saudara-saudara kita, ternyata ada bahaya besar di balik film tersebut, yaitu bahaya atas aqidah seorang muslim.
Ilmu ghaib hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala
Apa yang akan terjadi di masa depan temasuk perkara ghaib, tidak ada yang memiliki ilmunya, baik malaikat, manusia maupun jin, kecuali Allah Ta’ala. Ini adalah salah satu pokok keimanan yang harus diyakini oleh setiap hamba.
Maka termasuk kesyirikan:
1. Apabila seorang mengaku mengetahui ilmu ghaib,
2. Apabila seorang mempercayai ada selain Allah yang mengetahui ilmu ghaib.
Karena pengetahuan tentang ilmu ghaib merupakan kekhususan bagi Allah Tabaraka wa Ta’ala. Sebagaimana yang ditegaskan Allah Ta’ala dalam banyak ayat, diantaranya:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah, “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui hal ghaib, kecuali Allah Ta’ala” Dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 65)
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya melainkan Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan dan tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahui, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (lauhul mahfudz)” (QS. Al-An`am: 59)
Hukum mempercayai ramalan
Kewajiban setiap hamba untuk mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahui ilmu ghaib. Oleh karenanya, barangsiapa yang mempercayai ramalan dukun, paranormal, tukang ramal ataupun ramalan bintang tentang masa depan berarti dia telah menyekutukan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menegaskan:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu membenarkan ucapannya, maka ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam-.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib no. 3047)
Bahkan sekedar bertanya tanpa membenarkan atau mempercayai ucapan paranormal tersebut mengakibatkan tertolaknya sholat seseorang selama 40 hari, tanpa menggugurkan kewajiban sholat darinya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima sholatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim no. 5957)
Dan termasuk dalam hal ini apabila seorang membaca ramalan-ramalan bintang (zodiak), feng shui, primbon dan semisalnya yang biasa tersebar di media massa dan ia mempercayainya maka itu adalah kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jika sekedar membacanya tanpa meyakininya maka termasuk dosa besar (lihat At-Tamhid Li Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Sholih Alusy Syaikh hafizhahullah, hlm. 489-490).
Kapan terjadi kiamat termasuk ilmu ghaib, hanya Allah Tabaraka wa Ta’ala yang memiliki ilmunya
Tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan tentang waktu terjadinya kiamat adalah termasuk perkara ghaib, hanya Allah Ta’ala saja yang tahu kapan terjadinya kiamat, tidak ditampakkan kepada makhluk-Nya karena suatu hikmah. Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا
“Mereka bertanya kepadamu tentang (kapan datangnya) hari kiamat. Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang kapan datangnya hari kiamat itu hanyalah di sisi Allah.” Dan tahukah kamu (wahai Muhammad) boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat waktunya.” (QS. Al-Ahzab: 63)
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Rabbku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan secara tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.” (QS Al-A’raf: 187)
Bahkan malaikat yang paling mulia sekalipun, yaitu Jibril ‘alaihissalam dan Rasul yang paling mulia, yaitu Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam juga tidak mengetahui kapan terjadinya kiamat.
Sehingga ketika Jibril ‘alaihissalam datang dalam bentuk seorang laki-laki dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “kapan terjadinya kiamat”, sebuah pertanyaan untuk mengajarkan kepada para sahabat bahwa tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya kiamat kecuali Allah ‘Azza wa Jalla, maka dijawab oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Tidaklah orang yang ditanya lebih tahu dari yang bertanya.” (sebagaimana dalam hadits yang panjang, yang dikenal dengan istilah hadits Jibril, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim, lihat hadits Arba’in ke-2).
----------
1.Demikian opini umum yang tersebar di tengah masyarakat dan media massa, terlepas dari benar tidaknya film tersebut bercerita tentang kiamat atau sekedar bencana alam. Sampai-sampai salah seorang paranormal terkenal di negeri ini sok mengatakan, “paranormal tidak bisa menembus tahun 2013”.
Maka untuk meluruskan kesalah pahaman sebagian saudara kami tentang tulisan ini maka kami tegaskan bahwa artikel ini bukan sebagai “resensi” ataupun “bantahan ilmiah” terhadap film tersebut, melainkan untuk meluruskan aqidah kaum muslimin (yaitu kesyirikan ramal-meramal) dan menutup celah penyimpangannya. Adapun tentang film itu sendiri sudah dimaklumi kalau berisi gambar bernyawa, menampakkan aurat, membuang-buang harta dan waktu dan kemungkaran-kemungkaran lainnya, sebagaimana film-film yang lain
(Sumber http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=410)
Bentuk Kekafiran dari sisi lain: Mendustakan hadits-hadits tentang tanda-tanda kiamat
Termasuk bagian dari rukun iman yang kelima, yaitu beriman dengan hari kiamat adalah mengimani terjadinya tanda-tanda kiamat. Hal tersebut telah dijelaskan dalam banyak ayat dan hadits yang shahih, bahkan sebagiannya mutawatir. Diantaranya dalam hadits Abu Sarihah Hudzaifah bin Asid al-Ghifari radiyallahu’anhu:
اطَّلَعَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَيْنَا وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ فَقَالَ مَا تَذَاكَرُونَ. قَالُوا نَذْكُرُ السَّاعَةَ. قَالَ إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ. فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ -صلى الله عليه وسلم- وَيَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَثَلاَثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنَ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan kami ketika sedang berbincang-bincang. Beliau berkata, “Apa yang sedang kalian perbincangkan?” Kami menjawab, “Kami sedang berbincang-bincang tentang hari kiamat.” Beliau bersabda:
“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian melihat sepuluh tanda.” Lalu beliau menyebutkan, “[1] Dukhan (asap yang meliputi manusia), [2] keluarnya Dajjal, [3] Daabah (binatang yang bisa berbicara), [4] terbitnya matahari dari barat, [5] turunnya ’Isa bin Maryam ‘alaihimassalam, [6] keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, [7,8,9] terjadinya tiga longsor besar (dibenamkan ke dalam bumi) di timur, di barat dan di jazirah Arab, yang terakhir adalah [10] keluarnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya mereka”.” (HR. Muslim no. 7467)
Dari kesepuluh tanda-tanda kubro ini yang paling jelas pengingkarannya pada tanda yang kelima, yaitu tentang turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, karena dalam hadits yang shahih diterangkan bahwa lama tinggal Nabi ‘Isa ‘alaihissalam di bumi adalah selama 40 tahun, kemudian beliau meninggal dunia dan disholati oleh kaum muslimin (sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2182).
Sedangkan ramalan kiamat bangsa Maya akan terjadi pada 21 Desember 2012, berarti jaraknya tinggal 3 tahun lebih sedikit, padahal Nabi ‘Isa ‘alaihissalam akan tinggal di bumi selama 40 tahun. Ini jelas penyesatan dan pendustaan secara tidak langsung terhadap hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang mulia, satu dari dua wahyu Allah (al-Qur’an dan al-Hadits).
Demikian pula, termasuk tanda kubro sebelum turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, adalah diangkatnya Imam Mahdi sebagai pemimpin tunggal kaum muslimin dan beliau akan berkuasa selama 7 atau 8 tahun (dan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam turun pada masa kepemimpinan beliau) (sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Hakim dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 711).
Juga tidak akan terjadi kiamat sebelum kaum muslimin mengalahkan kaum penjajah dan teroris sejati: Yahudi, sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمُ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِىُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوِ الشَّجَرُ يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِىٌّ خَلْفِى فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ. إِلاَّ الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ
“Tidak akan terjadi kiamat sebelum kaum muslimin memerangi orang Yahudi. Maka kaum muslimin membunuh mereka sampai orang Yahudi bersembunyi di belakang batu dan pohon; maka batu dan pohon itu berkata, “Wahai Muslim, wahai hamba Allah, inilah orang Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah,” kecuali pohon gharqad, karena sesungguhnya ia adalah pohonnya Yahudi.” (HR. Muslim no. 7523)
Sebagaimana kaum muslimin pada akhir zaman dengan pertolongan Allah juga akan menundukkan semua kekuatan orang-orang kafir di muka bumi ini. Dan sudah dimaklumi bahwa pembuat film ini adalah seorang Yahudi, sehingga tidak berlebihan kalau kita bertanya-tanya, apakah ini gambaran ketakutan mereka kepada kaum muslimin, sekaligus ingin memadamkan semangat jihad plus mengkaburkan aqidah kaum muslimin!?
Dan masih banyak hadits lain tentang tanda-tanda kiamat yang mungkin didustakan dalam ramalan tersebut.
Sejatinya, ketika terjadi kiamat tidak ada lagi orang beriman di muka bumi ini, karena Allah Ta’ala telah mewafatkan semua orang yang beriman sebelum terjadinya kiamat. Sehingga yang menyaksikan terjadinya kiamat hanyalah orang-orang kafir, bahkan mereka adalah seburuk-buruknya manusia yang tersisa di muka bumi ini. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ شِرَارِ النَّاسِ مَنْ تُدْرِكُهُ السَّاعَةُ وَهُمْ أَحْيَاءٌ وَمَنْ يَتَّخِذُ الْقُبُورَ مَسَاجِدَََََ
“Sesungguhnya diantara makhluk yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang masih hidup ketika terjadinya kiamat dan orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hlm. 216)
Faidah: Yang dimaksud dengan menjadikan kuburan sebagai masjid mencakup dua makna, pertama: shalat di pekuburan, kedua: membangun masjid di pekuburan (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Sholih al-Fauzan hafizhahullah 1/298).
Kesimpulan
Mempercayai ramalan terjadinya kiamat pada tahun 2012 termasuk kesyirikan dan kekafiran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (terlepas dari benar tidaknya film tersebut berbicara tentang kiamat atau sekedar bencana alam). Lalu bagaimana mungkin seorang mukmin bisa terhibur dengan film, maupun acara-acara perdukunan seperti The Master dan lainnya yang berdasarkan pada sesuatu yang sangat dimurkai Allah!?
Padahal setiap mukmin tidak saja dituntut untuk menjauhi kekafiran, tapi juga dituntut untuk membenci kekafiran tersebut dan pelaku-pelakunya. Inilah satu permasalahan penting dalam aqidah seorang muslim yang dikenal dengan istilah al-wala’ wal bara’, kecintaan dan permusuhan. Bahwa cinta seorang mukmin kepada iman dan orang-orang yang beriman dan kebenciannya kepada kekafiran dan orang-orang kafir. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah memberikan teladan yang baik dalam hal ini:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian serta telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Sehinggga termasuk kekafiran:
1. Apabila seorang mencintai atau meridhoi kekafiran meskipun ia tidak melakukannya,
2. Apabila seorang mencintai orang kafir karena kekafirannya.
Adapun seorang yang mencintai orang kafir bukan karena kekafirannya, seperti karena dunia dan lainnya, maka tidak termasuk kekafiran, namun termasuk dosa besar (lihat Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Sholih Alu Syaikh hafizhahullah, hlm. 27)
Maka sangat dikhawatirkan, hadirnya kita untuk menonton dan mencari hiburan dari acara-acara kekafiran termasuk dalam bentuk meridhoi kekafiran tersebut.
Di sisi lain, menonton film tersebut minimalnya termasuk perbuatan sia-sia dan membelanjakan harta untuk kesia-siaan, padahal masih banyak hal-hal positif yang bisa kita lakukan untuk kebaikan dunia dan akhirat kita. Juga termasuk kemungkaran, melihat gambar wanita membuka aurat dan meridhoi gambar bernyawa. Demikian pula jika kita renungkan sejenak, tentang harta yang kita keluarkan hanya demi suatu hiburan belaka, padahal di negeri kita sendiri terlalu mudah untuk bertemu peminta-minta setiap harinya di jalan-jalan negeri kita dan di belahan bumi lain banyak saudara-saudara kita kaum muslimin, seperti di Palestina, Afganistan, Iraq, dan lainnya yang sangat membutuhkan uluran tangan kita, karena sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi terlalu sulit bagi mereka disebabkan penjajahan yang dilakukan oleh orang-orang kafir, sementara kita di sini, menghambur-hamburkan harta untuk hiburan yang tidak syar’i!?
Adapun bagi mereka yang ingin mengambil hikmah atau pelajaran dari film, novel, nyanyian (baca: nasyid) dan yang sejenisnya, ketahuilah itu termasuk tipu daya setan untuk menjauhkan kita dari al-Qur’an dan cabang-cabang ilmunya yang sangat banyak. Barangsiapa yang tidak bisa mengambil pelajaran dari al-Qur’an maka bagaimana mungkin ia bisa mengambil dari selainnya!?
Ingatlah, setiap detik yang kita lalui dan setiap harta yang kita belanjakan pasti akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ : عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ
“Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dimintai pertanggung jawaban tentang empat perkara, tentang umurnya ke mana ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan ke mana ia belanjakan dan tentang badannya untuk apa ia pergunakan.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib no. 126)
Oleh karenanya, yang paling penting bagi kita bukanlah mengetahui kapan terjadinya kiamat, namun apa yang telah kita siapkan untuk menghadapi hari kiamat.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَتَى السَّاعَةُ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا أَعْدَدْتَ لَهَا ». قَالَ حُبَّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ. قَالَ « أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasannya, seorang Arab dusun bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “kapan terjadinya hari kiamat”, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapi hari kiamat”, ia menjawab, “kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya”, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “engkau akan bersama dengan yang engkau cintai”.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
Sumber :
Publikasi Ahlussunnah
Dari: Al Ustadz Sofyan Chalid Bin Idham Ruray
(Sumber http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=409)
Subscribe to:
Posts (Atom)