2.11.2014

I’DADUL MAR’AH AL MUSLIMAH AD DA’IYAH MUSLIMAHYAH

Islam menghendaki setiap da’iyah muslimah tak sekedar bisa mengajak orang lain, namun mereka tak boleh melupakan diri sendiri. Allah Ta’ala mencela sikap orang yang hanya pandai berdakwah mengajak dan mengingatkan orang lain, sementara dirinya sendiri tak mendapatkan perhatian :
“Mengapa  kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab, apakah kamu tidak berfikir ?” (Al Baqarah: 44).
Ayat tersebut memang ditujukan kepada Bani Israil yang pandai menyuruh orang lain namun enggan melakukannya sendiri, padahal mereka membaca Taurat. Tentu menjadi peringatan pula bagi setiap da’iyah muslimah, agar konsekuen dengan apa yang ia serukan kepada umat.
Adapun persiapan diri seorang da’iyah muslimah, secara garis besar meliputi empat cakupan, yakni :
1.      Persiapan Ruhiyah (Spiritual)
2.      Persiapan Tsaqafah (Intelektual)
3.      Persiapan Jasadiyah
4.      Persiapan Maliyah (Material)
Berikut kita bahas satu persatu :
  1. Persiapan Ruhiyah
Aqidah adalah merupakan pondasi kehidupan mukmin. Takaran kekuatan ruhiyah seseorang ditentukan oleh tancapan aqidah yang melekat di hatinya. Di sini bisa kita pahami, jika tarbiyah generasi awal Islam bermula dari penanaman aqidah dalam hati.
Rasulullah saw menyiapkan generasi awal Islam lewat tarbiyah ruhiyah yang mantap. Turunnya surat Al Muzammil pada awal periode Makah mengisyaratkan betapa kuatnya persiapan tarbiyah ruhiyah saat itu. Setelah mengokohkan aqidah, proses tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa) berjalan efektif. Di sinilah rupanya rahasia tarbiyah Islamiyah fase Makah, sebagaimana saratnya Al Muzammil dengan nilai-nilai ruhiyah :
“Hai orang-orang yang berselimut ! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit dari padanya (yaitu) seperduanya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an dengan tartil” (Al Muzammil: 1-4).
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepadanya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada ilah selain Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapakan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik” (Al Muzammil: 8-10).
Jika kita perhatikan kehidupan generasi awal Islam, tampak ada beberapa tonggak dalam upaya mempersiapkan kekuatan ruhiyah seorang da’iyah muslimah, yakni :
a.      Memiliki Kejelasan Loyalitas
Islam sebagai dien yang syamil memiliki patokan karakter kepribadian penganutnya, yang tercermin dalam doktrin aqidah, syari’ah maupun akhlaq. Aqidah sebagai pondasi keyakinan telah ditancapkan sejak awal zaman kenabian ke dada para sahabat. Inilah patokan karakter yang amat fundamental dalam kehidupan muslim. Keimanan kepada Allah Ta’ala, malaikat, Rasul, Kitab, hari akhir dan taqdir telah menyebabkan seorang muslim berkepribadian tamayuz (spesifik), berbeda dari yang lainnya.
Selain pondasi aqidah para da’iyah muslimah juga mengaplikasikan hukum-hukum syari’ah dalam kehidupan kesehariannya. Berlandaskan keimanan, kaum muslimah mengerti halal dan haram. Mereka juga melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan. Hukum syari’ah telah menyebabkan kehidupan kaum muslimah teratur, tertata dari hal-hal yang kecil dan mempribadi sampai kepada hal-hal besar dan sistemik.
Wala’ (loyalitas) merupakan karakter asasi setiap muslim. Dengan ciri ini, akan mampu membedakan orang-orang yang beriman dengan orang yang kafir. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kaum muslimah agar menyerahkan loyalitasnya secara penuh kepada Allah, RasulNya dan orang –orang yang beriman. Sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah., RasulNya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, serta mereka ruku’ (kepada Allah.)”  (Al Maidah: 55).
Pertama kali setiap da’iyah muslimah mestilah iltizam (komitmen) terhadap syari’at Allah swt. Seluruh tindakan dan perbuatannya tak boleh bertentangan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam. Sampai ke masalah syu’ur (perasaan) dan dzauq (selera) pun mesti disesuaikan dengan kehendak Allah swt dan RasulNya sehingga tak satu pun dari aktivitas lahir maupun batinnya yang berkadar keluar dari syari’at Islam.
Kehidupan keseharian da’iyah muslimah senantiasa mencerminkan aplikasi syari’ah. Rumah da’iyah muslimah adalah rumah yang di dalamnya ditegakkan ajaran syari’at kerumahtanggaan. Umat tidak melihat dirinya kecuali dalam keadaan memegangi aturan Ilahi.
Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah telah meninggalkan jejak manhaj dalam dakwah. Kesemua manhaj dakwah Rasulullah itu tentu saja untuk diteladani para da’iyah muslimah dalam menjalankan tugas dakwahnya. Sirah nabi menuntun dalam memahami manhaj tersebut, bagaimana marhalah (tahapan) dalam dakwah selama di Makah dan di Madinah, bagaimana kaifiyat (tata cara ) beliau dalam berdakwah, apa maudhu (tema) yang disampaikan kepada umatnya. Semuanya berfungsi sebagai sebuah manhaj yang semestinya diterapkan dalam medan dakwah saat ini.
Adapun wujud loyalitas kepada sesama mukmin adalah alokasi penataan gerak dakwah bersama mereka. Bersikap kasih sayang dan lemah lembut sesama mereka, serta menetapkan ukhuwah sebagai suatu bentuk kekuatan struktural di antara mukmin. Allah  Ta’ ala berfriman :
“Dan orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah wali dari sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah swt. dan RasulNya” (At-Taubah: 71).
Ukhuwah direalisir hingga tingkat ta’awun (tolong menolong) di antara orang-orang mukmin. Perpecahan adalah penyakit umat yang harus dijauhi, dan Allah swt melarang keras adanya perpecahan ini, sebab akibatnya akan membuat barisan kaum mukminin semakin lemah.
Banyak ayat tentang kewajiban ukhuwah dan larangan berpecah belah :
“Dan berpeganglah kepada tali Allah  dan janganlah bercerai berai” (Ali Imran: 103).
Dalam ayat yang lain :
“Dan taatlah kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu…..” (Al Anfal: 46).
Konsekuensi berikutnya dari ajaran loyalitas terhadap sesama mukmin adalah memiliki sikap yang tegas terhadap orang-orang kafir. Tak ada kerja sama dengan orang-orang kafir dalam masalah keyakinan dan prinsip dasar ad dien, meski dalam muamalah kaum mukminin tetap bisa hidup berdampingan bersama-sama mereka dalam batas yang diperbolehkan.
Tampak jelas karakter seperti ini pada generasi awal yang ditarbiyah langsung oleh Rasulullah saw. Mereka saling mencintai dan berkasih sayang satu dengan yang lainnya, namun bersikap keras dan tegas terhadap kekafiran. Inilah karakter yang khas pada setiap mukmin, disebabkan loyalitasnya yang mutlak diserahkan kepada Allah swt dan RasulNya. Watak ini dilukiskan dengan sangat indah dalam Al Qur’an :
“Muhammad itu adalah utusan Allah  dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir dan kasih sayang sesama mereka……..” (Al Fath: 29).
Kesanggupan berjihad fi sabilillah dan menanggung segala resiko perjuangan, memiliki hubungan secara langsung dengan wala’. Buat apa berjihad jika tidak memiliki kejelasan wala’ ? Untuk siapa berjihad ? Ya, tentu hanya orang mukmin yang telah menyerahkan loyalitas totalnya kepada Ilsam sajalah yang bersedia menetapi perintah-perintah Allah dan rasulNya. Harta dan jiwanya telah diserahkan untuk perjuangan fi sabilillah.
Di sini tampak jelas perbedaan orang-orang yang berwala’ kepada Allah swt dengan orang yang berwala’ kepada thaghut. Ada batas tegas di antara kedua golongan ini. Masing-masing berjuang untuk menetapi loyalitasnya. Al Qur’an melukiskan kondisi ini :
“Orang-orang yang beriman berjuang di jalan Allah  dan orang-orang kafir  berjuang di jalan thaghut ; oleh sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu sangat lemah” (An Nisa’: 76).
Ternyata kejelasan wala’ memang karakter pertama yang harus dimiliki pada da’iyah muslimah. Dengannya dakwah akan terarahkan sesaui manhaj yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, dengan program jama’i yang melibatkan segenap potensi.
b.      Menghiasi Diri dengan Akhlaq Terpuji
Da’iyah muslimah harus memiliki karakter yang kuat dan jelas. Mereka adalah panutan umat, dimana setiap gerak langkah, tutur kata, perilaku, dan kehidupan kesehariannya senantiasa diperhatikan umat.
Secara lebih detail, perwujudan karakter mulsim yang tampak di permukaan adalah ajaran akhlaq. Sedemikian rincinya Islam mengatur akhlaq, sejak dari akhlaq fardiyah  (individual) bagi setiap individu muslim, hingga akhlaq ijtima’iyah (sosial) yang memiliki dimensi sosial secara menyeluruh. Hal ini menandakan, bahwa kehidupan muslim senantiasa terprogram dengan rapi dari waktu ke waktu setiap harinya.
Para da’iyah muslimah merupakan cermin dari umatnya. Citra Islam selayaknya muncul sebagai suatu kepribadian setiap da’iyah muslimah, dengan itulah ia bisa membimbing umat menuju jalan Allah swt. Tanpa akhlaq yang dilandasi aqidah, niscaya dakwah akan berubah menjadi fitnah yang berbahaya.
Rasulullah memimpin dakwah pada umat manusia dari kondisi jahiliyah total, menuju cahaya Islam dalam waktu yang singkat, kurang dari dua puluh tiga tahun. Salah satu kunci keberhasilannya terletak pada kebagusan akhlaq beliau, disifatkan Aisyah ra, ‘Sesungguhnya akhlaq beliau adalah Al Qur’an.” Bahkan Allah Ta ‘ala memuji akhlaq beliau :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlaq yang agung” (Al Qalam: 4).
Jika kita perhatikan dari sirah nabi, Rasulullah saw dengan akhlaq yang sempurna di tengah kaumnya, berdakwah kepada mereka. Sehingga betul-betul dakwah Islam ditolak sebagian umat karena permasalahan materi seruan dakwah itu sendiri, atau karena memang di dalam hati mereka ada penyakit. Sama sekali dakwah ditolak bukan karena akhlaq sang pembawa risalah. Bagaimanakah sekiranya para da’iyah muslimah tidak menampilkan akhlaq yang mulia di tengah umat ini ? Bisa dibayangkan, da’wh tak akan tersampaikan kepada umat, dan tak akan diterima oleh mereka.
Para da’iyah muslimah tak memiliki alternatif lain lagi kecuali memperbaiki akhlaq, agar memiliki karakter yang jelas sebagai seorang panutan umat. Kejelasan karakter ini sangat berpengaruh dalam dakwah, sebab umat memang memerlukan kejelasan, mana yang datang dari Islam dan mana yang bukan.
Allah ‘Azza wa Jalla tidak menyukai orang-orang yang hanya bisa berbicara, mengajak dan melarang orang lain, namun ia sendiri tidak seperti apa yang diucapkan. Usamah bin Zaid ra pernah mendengar Rasulullah saw bersabda :
“Pada hari kiamat kelak didatangkan seseorang, lalu dicampakkan ke dalam neraka, maka keluarlah ususnya dan berputar-putar, seperti seekor keledai yang mengitari batu kisaran. Para penghuni neraka mendatanginya seraya bertanya, “Hai Fulan, ada apa gerangan ? Bukankah engkau yang menyuruh kami berbuat ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ?” Maka dijawab, “Benar, akulah ayang pernah menyuruh kalian berbuat ma’ruf tapi aku sendiri tak melakukannnya, dan aku melarang orang dari berbuat kemungkaran, tapi aku sendiri melakukannnya” (HR. Muslim).
Usamah bin Zaid ra juga pernah mendegar Rasulullah bersabda :
“Pada malam perjalananku (Isra’ dan Mi’raj) aku lewat pada sekelompok kaum yang tengah digantung lidahnya dengan gunting dari api. Akupun bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Jibril ?” Jibril menjawab, “Mereka itu adalah juru khutbah dari umatmu, yang mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak melakukannya.”
Hendaklah para da’iyah muslimah takut akan kondisi itu, sehingga melakukan persiapan memperbaiki akhlaq setiap saat. Bukan saja untuk keperluan dakwah di dunia ini, namun lebih dari itu untuk keselamatan di akhirat kelak.
c.       Qiyamullail
Allah ‘Azza wa Jalla pada awalnya telah mewajibkan shalat malam pada Rasulullah saw dan para sahabat, hingga turunnya ayat keduapuluh surat Al Muzammil. Sekalipun dari sisi hukum akhirnya bukan wajib, namun nilai yang terkandung di dalamnya sungguh luar biasa. Banyaknya keterangan yang menyebutkan keutamaan shalat malam akan makin menyadarkan kita bahwa aktivitas ini memiliki peranan yang penting dalam kehidupan seorang da’iyah muslimah.
Ketika mensifati hamba-hamba Ar Rahman (‘Ibadurahman) Allah Ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan sujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” (Al Furqan: 64).
Ciri orang yang bertaqwa dikaitkan dengan sedikitnya tidur di waktu malam, sebab ibadat malam telah menjadikan bagian dari hidupnya :
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir malam mereka  memohon ampun (kepada Allah)” (Adz Dzariyat: 17-18).
Demikian pula dengan ciri orang yang beriman, dengan sedikitnya tidur di waktu malam dan kegemaran melakukan ibadat malam :
“Lambung mereka telah jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka” (As-Sajdah: 16).
Waktu malam dipilih oleh Allah karena di saat itu hati menjadi khusyu’, merasakan kelemahan diri di hadapan Al Khaliq. Pada waktu itu kebanyakan orang tertidur pulas, di situlah manusia merasakan kesendirian berbincang dengan Penguasa alam semesta, lewat sujud–sujud panjang dan do’a-do’a yang dipanjatkan dari kedalaman hati seorang hamba yang lemah. Rahasia pemilihan waktu malam ini diungkapkan dalam Al Muzammil :
“Sesungguhnya bangun di waktu malam itu adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bancaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada waktu siang hari mempunyai urusan-urusan yang panjang” (Al Muzammil: 6-7).
Pembinaan ruhiyah berjalan efektif dengan qiyamullail ini. Tak mengherankan, mereka yang telah merasakan nikmatnya shalat malam akan merasa sangat kehilangan jika ada satu malam yang terlewatkan darinya. Abu Sulaiman berkata, “Ahli bangun malam itu di waktu malamnya dapat merasakan lebih lezat dari pada ahli suka ria dengan segala macam kesukariaannya.”
Ibnu Munkadir berkata, “Di antara beberapa kelezatan dunia itu tak ada yang kekal dan tetap, melainkan tiga perkara yaitu waktu bangun shalat malam, di waktu bertemu kawan-kawan dan di waktu shalat jama’ah.” Ini merupakan gambaran jiwa yang telah mampu menangkap ruh ibadat malam.
Para da’iyah muslimah sudah selayaknya meraih kenikmatan munajat kepada Allah swt di saat ia bangun malam dan melakukan shalat lail. Menilik turunnya perintah shalat malam pada waktu awal dakwah di Makah, tampaknya memang inilah metoda dan bahkan manhaj yang mesti dilalui para da’iyah muslimah, sebagai bentuk persiapan ruhiyah. Dengan shalat lail ini pula Allah swt akan berkenan memberikan derajat yang terpuji (maqaman mahmudan)  kepada ahlinya :
“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajjudlah kamu, sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (Al Isra’: 79).
Permasalahan yang dihadapi para da’iyah muslimah tak bisa diselesaikan hanya dengan hitungan matematis; adakalanya bahkan ia tidak akan mampu menyelesaikankannya sendiri. Di sini terasa urgensi taqarrub kepada Allah swt. Kenyataannnya, tadakhul Rabbani (intervensi Allah) lebih berperan dalam menyelesaikan permasalahan dakwah kaum muslimah. Pada saat malam, tersedia waktu untuk mengungkapkan permasalahan yang tengah dihadapinya, sehingga Allah swt berkenan menyelesaikannya. Rasulullah saw telah bersabda, sebagaimana yang didengar oleh Jabir ra :
“Pada waktu malam ada saat, dimana tiadalah seorang muslim dapat menemukannya lalu ia minta kepada Allah  suatu kebaikan, melainkan pasti diberinya, baik soal kebaikan dunia atau akhirat dan saat itu ada pada setiap malam” (Riwayat Muslim).
Sudah selayaknya kehidupan seorang da’iyah muslimah itu sebagaimana sebuah ungkapan, “Seperti rahib di malam hari dan seperti singa di siang hari.”  Artinya, kehidupan malamnya digunakan untuk melakukan ibadah nafilah, lewat shalat malam dan do’a permohonan kepada Allah swt, sementara di siang hari ia tekun bekerja di jalan Allah swt.
d.      Tilawah Qur’an
Metode pebenahan ruhiyah yang diungkapkan di dalam Al Muzammil, setelah qiyamullail adalah tilawah Qur’an secara tartil :
“Dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil” (Al Muzammil: 4).
Al Qur’an merupakan mashdar kehidupan mukmin, oleh karenanya harus senantiasa dibaca, ditelaah kemudian diamalkan isinya. Membacanya berpahala, dan merupakan ruh yang memberikan kekuatan ma’nawiyah kepada sang pembaca. Tiada suatu hari dalam kehidupan da’iyah muslimah yang boleh dibiarkan berlalu tanpa bacaan Al Qur’an.
Bagi orang-orang mukmin, Al Qur’an berfungsi sebagai obat, penentram hati. Ia juga huda dan rahmat. Namun bagi orang yang zhalim, keberadaan Al Qur’an hanya semakin menambah penyakit hati saja. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman :
“Dan kami turunkan dari Al Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, Al Qur’an itu tak menambah kepada orang-orang yang zhalim kecuali kerugian” (Al Isra’: 82).
Allah  Ta’ala juga berfirman :
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Yunus: 57).
Dari Al Qur’an para da’iyah muslimah bukan saja mendapatkan ketenangan dan kekuatan ruhiyah, namun juga petunjuk ilmu pengetahuan yang amat banyak. Ibnu Mas’ud ra berkata : “Apabila kamu menginginkan pengetahuan, maka selidikilah Al Qur’an itu, sebab di dalamnya termuat ilmu-ilmu dari orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian.”
Amat banyak kemuliaan yang diberikan kepada pembaca Al Qur’an, baik di dunia maupun di akhirat. Amru bin Ash ra menyatakan,  “Barang siapa membaca Al Qur’an, maka telah diletakkan tingkat kenabian di sekitar kanan kirinya, hanya saja ia tak didatangi wahyu.” Rasulullah Saw mensifatkan :
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajakannya” (Riwayat Bukhari).
Perintah membaca Al Qur’an adalah dengan tartil, hal ini jika kita perhatikan, mengandung makna ketelitian dalam membaca hingga merasakan betul getaran-getaran ilahiyah yang terpancar dari kalamullah tersebut. Selebihnya, bisa meresapkan makna ayat-ayat yang dibaca sehingga mampu meninggalkan atsar (bekas) yang mendalam. Ibnu Abbas berkata : “Sesungguhnya jika kamu membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran dengan perlahan-lahan dan tertib serta dapat kesempatan untuk mengenangkan artinya, maka yang demikian itu adalah lebih baik dari pada membaca seluruh Al Qur’an dengan cara tergesa-gesa dan tak karuan.”
Oleh karena itu Rasulullah saw dan para sahabat banyak menangis ketika berhadapan dengan Al Qur’an. Pernah suatu ketika Rasulullah saw bersabda kepad Ibnu Mas’ud ra, “Bacakan kepadaku Al Quran.” Maka Ibnu Mas’ud berkata,  “Ya Rasulullah bagaimana saya membacakan kepadamu padahal kepadamulah Al Qur’an diturunkan?” Bersabda Rasulullah saw, “Aku suka mendengarnya dari orang lain.” Maka Ibnu Abbas membacakan surat An Nisa hingga ayat :
“Maka bagaimanakah (orang kafir) nanti apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)” (An-Nisa’: 41).
Sabda Nabi, “Cukup !” Kata Ibnu Mas’ud, “Maka saya menoleh kepadanya, tiba-tiba kedua mata Nabi berlinangan air mata” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Ibnu Umar ra bercerita ketika Rasulullah saw sakit keras, beliau diingatkan untuk shalat jama’ah, maka sabda beliau, “Suruhlah Abu Bakar menjadi imam”. Aisyah berkata, “Abu Bakar itu seorang yang berhati lembut,  jika membaca Al Quran tak dapat menahan tangis.” Pada riwayat lain ‘Aisyah berkata, “Abu Bakar jika berdiri di tempatmu orang tak akan mendengar suara karena tangisnya” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Generasi awal memberikan keteladanan yang sempurna dalam berhadapan dengan Al Quran. Hati mereka tertambat erat dengan Allah swt. Demikian selayaknya para da’iyah muslimah dalam membenahi kepribadiannya berdasarkan Al Qur’an. Dirinya diterangi cahaya Al Qur’an, sehingga ia dapat menerangi dunia, dengan kepribadiaannya yang agung.
e.       Dzikrullah
Dzikrullah ternyata merupakan metode persiapan ruhiyah yang amat mengena. Banyak sekali perintah Allah swt untuk senantiasa berdzikir, menandakan aktivitas ini memiliki peran yang besar dalam kehidupan da’iyah muslimah. Allah swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, dzikirlah (dengan menyebut nama) Allah  dengan dzikir yang banyak” (Al Ahzab: 41).
Kemenangan perjuangan da’iyah muslimah ditentukan oleh faktor dzikir sehingga semestinya senantiasa bibir para da’iyah muslimah  basah dengan dzikir, dalam setiap aktivitas kehidupan, dalam rangka mencapai sukses perjuangan. Allah ‘Azza wa Jalla  berfirman :
“Dan berdzikirlah kepada Allah  sebanyak-banyaknya niscaya kamu beruntung” (Al Anfal: 45).
Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan, “Dzikir atau mengingat Allah swt dalam segala apa yang dilakukan oleh hati dan lisan berupa tasbih atau memahasucikan Allah  Subhanahu wa Ta’ala, memuji dan menyanjung-Nya, menyebut sifat-sifat kebesaran dan keagungan serta sifat keindahan dan kesempurnaan yang telah dimiliki-Nya. Dari pengertian ini, tampak luas sekali cakupan dzikrullah itu.
Allah  Ta’ala juga memerintahkan kita berdzikir dalam berbagai kondisi. Firman-Nya :
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), berdzikirlah kepada Allah  di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring” (An Nisa’: 103).
Tentang ayat ini Ibnu Abbas ra berkata, “Jadi maksudnya adalah jangan lepas-lepas dari dzikir itu, baik di waktu malam maupun siang, di daratan atau lautan, di saat berpergian atau di rumah, dalam keadaan kaya atau miskin, waktu badan kita sehat atau sakit, dalam keadaan sunyi maupun banyak orang.”
Pengaruh dzikrullah adalah ketentraman hati. Para da’iyah muslimah yang senantiasa dzikir kepada Allah swt, tak akan sekali-kali memiliki rasa cemas dan khawatir, senantiasa ithmi’nan (tenang) dalam kondisi apa pun. Allah swt berfirman :
“(Yaitu) orang-orang yang beriman hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah  hanya dengan mengingat Allah  hati menjadi tenteram” (Ar Ra’du: 28).
Sebaliknya, orang yang tidak pernah melakukan dzikir, hatinya semakin mengeras. Perumpamaan mereka seperti mayat, sebab ruhiyahnya telah mati pada saat jasadiyah masih hidup. Rasulullah saw bersabda :
“Perumpamaan orang yang dzikir kepada Allah  dengan orang yang tak berdzikir kepada Allah , bagaikan perbedaan antara orang yang hidup dengan yang mati” (Riwayat Bukhari).
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Sayyid Sabiq, dzikir adalah aktivitas hati dan lisan sekaligus. Agar dzikir mempunyai pengaruh bagi jiwa, tentu saja harus dilakukan secara benar. Al Ghazali menjelaskan tentang rahasia dzikir ini :
“Bahwasanya, yang dapat meninggalkan bekas dan berkesan serta bermanfaat itu ialah dzikir secara tetap dan berlangsung terus menerus dan disertai dengan kesadaran hati”.
Sungguh dalam dzikir yang demikian itu terdapat kekuatan yang dahsyat bagi ruhani. Sebab ada kesadaran ruhaniyah yang senantiasa berhubungan dengan Allah  ‘Azza wa Jalla. Dengan demikian, bagi da’iyah muslimah dzikrullah merupakan keharusan untuk kematangan pribadinya, sekaligus meraih sukses dalam langkah di medan dakwah.
Sejak awal hal itu telah diperintahkan dalam Al Muzammil :
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepadaNya dengan penuh ketekunan” (Al Muzammil: 8).
Tiga hal dalam proses persiapan ruhiyah ini jika berjalan istimrar niscaya akan semakin menambah kuatnya perbekalan para da’iyah muslimah. Masih banyak lagi metode untuk memperkuat basis ruhiyah, yakni keseluruhan ibadah-ibadah sunnah, yang jika dikerjakan akan membentuk seorang hamba yang memiliki pribadi yang mempesona. Allah swt telah menjanjikan bagi hamba-hamba yang tekun melaksanakan ibadah sunnah ini dengan kasih-Nya. Allah swt berfirman dalam sebuah hadits Qudsi :
“Dan selalu hambaKu mendekat kepadaKu dengan menambah amal-amal yang sunnah, sehingga Aku kasih kepadanya. Sehingga apabila Aku telah kasih kepadanya, Aku sebagai pendengaran yang ia mendengar dengannya, dan penglihatan yang ia melihat dengannya, dan tangan yang digerakkannya, dan kaki yang ia berjalan dengannya. Dan bila ia minta pasti Aku memberinya, dan bila ia memohon perlindungan pasti Aku melindunginya” (Riwayat Bukhari).


  1. Persiapan Tsaqafah
Tidak cukup hanya berbekal persiapan ruhiyah, para da’iyah muslimah semestinya juga mempersiapkan diri dalam hal tsaqafah (intelektualitas). Banyak hal yang harus diketahui para da’iyah muslimah, mengingat kemajuan di bidang sains dan teknologi yang sedemikian pesatnya. Sosok da’iyah muslimah bukanlah orang yang terbelakang dalam bidang ilmu  pengetahuan modern dan teknologi serta perkembangan politk internasional.
Meski begitu, bukan berarti harus menghabiskan waktu untuk menekuni perkembangan sains dan teknologi. Yang paling penting adalah menempatkan keilmuan yang dibutuhkan secara proporsional. Rasulullah saw adalah sosok manusia yang jenius. Salah satu sifat kerasulan beliau adalah fathanah (cerdas). Rasul bertugas menyampaikan kepada umat manusia, jika tidak memiliki otak yang cemerlang tentu akan kesulitan dalam mengemban misi tersebut.
Allah Ta’ala berfirman :
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan peringatan, agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah  sesudah diutusnya rasul-rasul itu….” (An Nisa’: 165).
Bagi setiap da’iyah muslimah yang memiliki tugas untuk melakukan tabligh, memang memerlukan  kecerdasan dan pemahaman akan ilmu-ilmu, baik qauliyah maupun kauniyah. Tanpa itu, tentu akan mengalami kesulitan dalam meyakinkan orang lain, bahkan dakwah yang disampaikan kehilangan kualitas.
Minimal ada tiga macam keilmuan yang diperlukan oleh para da’iyah muslimah untuk dirinya sendiri maupun kaitannya dengan tugas dakwahnya, yakni :
a.      Pengetahuan Islam
Ilmu-ilmu keislaman harus mendapatkan porsi perhatian utama dari setiap da’iyah muslimah. Sebab, ini adalah ilmu yang menjadi pondasi kehidupan muslim. Syaikh Said Hawwa menyebutkan beberapa ilmu Islam yang harus diketahui oleh setiap muslim dewasa ini, yaitu: pertama, ilmu Ushul Ats Tsalasah (tiga landasan pokok) yang meliputi pengetahuan (ma’rifah) tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, Ar Rasul dan Al Islam itu sendiri.
Kedua, Al Qur’an, baik kandungan maupun ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya. Ketiga, ilmu As Sunnah, baik kandungan maupun ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya. Keempat, ilmu Ushul Fiqh. Kelima, Ilmu Al Aqa’id (aqidah), akhlaq dan fiqh. Keenam, Sirah Nabawiyah dan tarikh umat Islam. Ketujuh, Ilmu bahasa Arab. Kedelapan, sistem musuh dalam menghancurkan Islam (deislamisasi). Kesembilan, studi Islam modern. Kesepuluh, Fiqh Ad Dakwah
Amat banyak bidang keilmuan yang harus diketahui oleh seorang da’iyah muslimah, sehingga proses pembinaan diri (tarbiyah) mengarah pula pada terbentuknya pemahaman yang baik akan ilmu-ilmu tersebut secara tadarruj (bertahap).
Bagi seorang da’iyah muslimah proses pengembangan dan pembinaan aspek tsaqafahnya berjalan terus menerus. Tetapi bukan berarti harus menguasai secara keseluruhan ilmu-ilmu tersebut baru boleh berdakwah. Lakukanlah dakwah sejak mengetahui kewajibannya, sembari secara istimrar belajar bidang keilmuan yang diperlukan.
b.      Pengetahuan Modern
Selain mengerti bidang keilmuan tersebut, seorang da’iyah muslimah juga perlu mengerti ilmu pengetahuan modern yang sekarang banyak berkembang. Aktivis dakwah Islam perlu juga mengetahui secara global maupun takhasus keseluruhan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dalam gerak dakwah Islam.
Gerak dakwah Islam membutuhkan profesi-profesi untuk pelayanan jasa kepada  umat, sehingga ada wujud riil dalam dakwah itu, bukan dakwah sekadar dakwah oral. Dalam bidang kesehatan misalnya, gerak da’ wah Islam membutuhkan kehadiran para dokter yang siap melayani kebutuhan umat. Di zaman sekarang dimana banyak orang mengabaikan nilai-nilai  Islam, sehingga terjadilah ikhtilath, campur baur antara laki-laki dan perempuan, alangkah baiknya jika ketika para dokter muslim mulai mengatasi masalah ini di bidang kesehatan.
Di bidang farmasi, diperlukan farmakolog muslim yang meracik obat sendiri, sehingga obat yang beredar di kalangan umat Islam jauh dari anasir yang subhat dan haram. Di bidang arsitektur dan teknik sipil, diperlukan ahli yang mampu merancang rumah islami, serta merancang komplek perkampungan atau perkotaan islami.
Tetapi dari mana datangnya dokter muslim, famakolog muslim dan arsitek muslim tadi, jika para da’iyah muslimah tidak menyiapkan potensi itu dari kalangan kaum muslimah sendiri yang telah memiliki komitmen terhadap gerak dakwah Islam. Alangkah bagusnya jika para da’iyah muslimah sendiri yang memiliki keahlian di bidang profesi-profesi tersebut.
Demikian pula para da’iyah muslimah perlu mengikuti peta kekuatan politik internasional, yang setiap saat mengalami perubahan. Tak jarang dalam waktu kurang dari sehari terjadi perubahan yang drastis pada sebuah negara, sehingga merubah peta percaturan kekuatan internasional. Hal seperti itu perlu diikuti perkembangannya untuk diambil pelajaran, bahkan bisa jadi berubah menjadi momen yang menentukan kejayaan Islam.
Pendek kata keseluruhan ilmu yang bermanfaat bagi dakwah harus dikuasai kaum muslimah, agar dakwah tidak senantiasa menjadi obyek. Peran da’iyah muslimah adalah mengarahkan potensi-potensi umat ini sesuai dengan disipilin keilmuan masing-masing, agar bisa bermanfaat dalam dakwah.
c.       Pengetahuan Keahlian
Pengetahuan keahlian ini lebih spesifik sifatnya. Lebih baik manakala para da’iyah muslimah banyak menguasai beberapa keahlian yang bermanfaat dalam dakwah. Misalnya, keahlian dalam merancang strategi perang, termasuk di dalamnya keahlian menggunakan peralatan-peralatan mutakhir.
Kemajuan teknologi telah menghasilkan bermacam-macam produk. Semua sarana komunikasi canggih telah tercipta, tentu saja banyak manfaat dalam dakwah. Hubungan  antar kota, antar pulau bahkan antar negara sekarang bukan lagi merupakan masalah. Sarana tabligh juga semakin luas, dengan munculnya teknologi radio, televisi, internet, faksimil, telepon dan media-media cetak.
Jika hal ini dikuasai oleh para da’iyah muslimah tentu akan semakin menambah kemudahan dalam beberapa hal di lapangan dakwah. Dengan demikian berbagai wasilah yang tercipta sebagai hasil kemajuan tekonologi, ikut mendukung program dakwah selama para da’iyah muslimah mampu memiliki kunci pengetahuan tentangnya.
Secara umum, tiga bentuk pengetahuan itulah yang memerlukan perhatian untuk pengembangan tsaqafah para da’iyah muslimah. Kita berharap muncul sosok-sosok da’iyah muslimah yang memiliki  intelektual tinggi, sehingga bisa tampil secara prima di tengah umatnya.
  1. Persiapan Jasadiyah
Persiapan jasadiyah ini ternyata merupakan bagian integral dari keseluruhan persiapan yang mesti dilakukan oleh para da’iyah muslimah. Akan menjadi kendala dalam dakwah, manakala para da’iyah muslimah lemah fisik sehingga sering terhinggapi penyakit, baik ringan maupun kronis.
Bagi setiap da’iyah muslimah hendaknya melakukan penjagaan kesehatan secara teratur. Hal ini bisa dilakukan dengan mengkonsumsi makanan yang halal dan thayib, menjauhkan dari semua makanan atau minuman yang merusakkan badan. Menjaga kebiasaan diri dengan menghindarkan hal-hal yang buruk, seperti merokok, dan penggunaan obat–obat psikis. Menguragi minum kopi, teh, minuman penyegar lainnya, bahkan jika bisa meninggalkan kopi, akan lebih baik  ditinjau dari ilmu kesehatan. Lebih dari itu, hendaknya juga rajin melakukan riyadhah (olah raga).
Penjagaan makanan dan minunam ini adalah salah satu cara untuk memelihara kesehatan tubuh. Pengaturan waktu juga diperlukan untuk keseimbangan tubuh, termasuk dalam hal ini istirahat yang cukup. Kemudian badan dipersehat lagi dengan riyadhah. Rasulullah saw bersabda :
“Mukmin yang kuat  lebih baik dan lebih disukai di sisi Allah daripada mukmin yang lemah” (HR. Muslim).
Riyadhah merupakan kebutuhan jasad, sekaligus melatih ketrampilan tubuh dalam berbagai macam medan yang berat. Dari Ibnu ‘Umar ra Rasulullah saw, bersabda :

“Didiklah anak-anakmu berenang dan memanah “

Beliau sendiri adalah seorang yang bertubuh kuat. Pernah beliau bertarung dengan Rukanah, seorang pegulat sebanyak tiga kali. Pada pertarungan yang terakhir, Rukanah kalah, kemudian ia berkata, “Kini aku bersaksi bahwa engkau benar-benar Rasulullah.”
Pada beberapa peperangan yang seru, para sahabat suka berlindung di balik beliau, karena mereka yakin dengan kekuatan fisik Rasulullah. Bahkan ketika menggali parit pada saat terjadinya perang Khandaq, para sahabat meminta bantuan beliau untuk memecahkan batu-batu yang keras dan tidak mempan dengan pukulan kampak.
 “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh-musuh Allah., musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahui, sedang Allah  mengetahuinya” (Al Anfal: 60),
  1. Persiapan Maliyah (Materi)
Materi bukanlah segalanya, akan tetapi ia merupakan hal yang diperlukan bagi kelangsungan dakwah, baik dalam skala individual maupun kolektif. Setiap langkah dakwah pasti membutuhkan materi, baik berupa uang yang langsung terlihat, ataupun berbentuk perbekalan yang tidak kelihatan secara langsung. Seorang da’iyah muslimah yang bertugas melakukan dakwah di tengah masyarakat salah satunya membutuhkan sarana transportasi, yang berarti memerlukan bahan bakar dan biaya perawatan lainnya. Kalau pun ia naik kendaraan umum juga harus membayar, bahkan seandainya jalan kaki, ia harus memiliki tenaga dari makanan yang dikonsumsi.
Berbagai sarana penunjang kebaikan da’iyah muslimah dan dakwah juga berhubungan langsung dengan materi. Ketika para da’iyah muslimah memerlukan tambahan informasi dan pengetahuan setiap harinya, maka ia perlu mengakses berita lewat media massa, baik lewat radio, koran harian, tabloid, ataupun televisi dan internet. Keseluruhannya memerlukan dana pengadaan atau perawatan. Untuk memperlancar komunikasi, da’iyah muslimah memerlukan telepon atau handphone, sudah pasti ini pun memerlukan dana rutin. Pendek kata, materi tidak bisa dipungkiri, merupakan kebutuhan bagi kelangsungan dan kelancaran dakwah.
Bahkan kebutuhan akan makan itu sendiri. Apabila da’iyah muslimah kekurangan ekonomi sehingga kesulitan untuk makan, pasti akan berpengaruh terhadap kualitas dakwahnya. Belum lagi ketika ia memiliki tanggungan isteri dan anak-anak yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya, sang da’iyah muslimah akan terhambat melakukan banyak kegiatan karena perhatian dan pikiran yang terkonsentrasi pada persoalan perut tersebut.
Suatu gejala buruk yang ada pada aktivis dakwah adalah ketika ia terbiasa menggantungkan diri secara ekonomi kepada pihak lain, baik orang tua maupun pihak-pihak lainnya. Hal semacam ini lazim terjadi pada aktivis dakwah yang tidak memiliki penghasilan sendiri, atau masih dalam masa studi. Mereka biasa mendapatkan jatah beaya hidup per bulan dari orang tua atau keluarga, atau pihak yang lain.
Ketergantungan seperti ini semestinya perlahan-lahan dikurangi dengan jalan usaha sendiri, hingga akhirnya sama sekali tak memiliki ketergantungan terhadap pihak manapun. Kerugian yang diderita apabila seorang aktivis dakwah menggantungkan dirinya pada orang lain adalah ketidaksiapan hidup mandiri ketika tiba-tiba hubungan ekonomi tersebut diputuskan secara sepihak. Kerugian yang lain, da’iyah muslimah akan banyak mendapatkan pesan sponsor dari pemberi dana tersebut, karena merasa telah membeayai sehingga berhak mengatur sebagian atau bahakan keseluruhan hidupnya. Di mana letak ‘izzah (kemuliaan)nya sebagai aktivis dakwah jika segalanya serba diatur orang lain, yang belum tentu sesuai dengan tuntunan Islam ?
Tak jarang seseorang tasaquth (gugur) dari jalan dakwah karena faktor ekonomi ini. Semasa masih dalam proses studi, biaya terus mengalir secara rutin dari orang tua, namun begitu ia lulus tiba-tiba dana tersebut terhenti sama sekali. Atau dana terhenti setelah melihat pola dan pandangan hidup yang berbeda. Pada saat semacam ini baru ia mulai berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk tetap hidup dan eksis dalam gerak dakwah. Namun kadang-kadang kenyataan hidup ini terasa begitu pahit baginya, yang memang belum pernah belajar mandiri. Perlahan-lahan idealismenya luntur, dan selangkah demi selangkah meninggalkan medan dakwah.
Rasulullah sejak dini telah memberikan teladan kepada para da’iyah muslimah, bahwa memang mereka tak layak untuk hidup tergantung dari pemberian orang lain. Dalam kehidupan ekonomi, kita menyaksikan latar belakang beliau amat baik. Sejak kecil telah berlatih mandiri. Di masa kecil beliau menggembala kambing untuk nafkah hidupnya. Tentang hal ini beliau bersabda :
“Aku memelihara kambing di kawasan penggembalaan Makah.”
Dalam usia dua belas tahun, Rasulullah telah menyertai pamannya berdagang ke Syam. Mengomentari peristiwa ini, Al Buthy menyatakan, “Karena itu, para aktivis dakwah merupakan orang yang paling patut mencari ma’isyah (penghidupan) melalui usaha mandiri  dari sumber yang mulia yang tidak mengandung unsur meminta-minta, agar mereka tak berutang budi kepada seseorang pun, yang menghalanginya dari menyatakan kebenaran di hadapan para “investor budi“ tersebut”.
Dalam usia dewasa beliau mengadakan usaha dagang dengan harta Khadijah, yang kelak dinikahinya. Ini merupakan contoh kongkrit bagi para da’iyah muslimah agar memiliki kehidupan ekonomi yang mandiri, sehingga tak tergantung kepada siapapun, kecuali kepada Allah swt. Islam sangat memperhatikan masalah kemampuan mandiri ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan :
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu itu (sumber) penghidupan” (Al A’raf: 10).
Pernah suatu ketika Rasulullah ditanya seseorang, “Ya Rasulullah, pekerjaan apa yang terbaik ?” Maka beliau menjawab :
“Pekerjaan yang terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua penjual beli yang baik” (HR. Ahmad, Baihaqi dan lain-lain).
Khalifah Umar bin Khathab ra pernah berkata :
”Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu hanya duduk-duduk saja dan tidak berusaha untuk mencari rizki dan hanya berdoa : ‘ Ya Allah  berilah hamba rizki !’ Tahukah kamu, dan semua telah tahu bahwa langit itu tak akan menurunkan hujan berupa emas atau perak .”
Berusaha dengan jerih payah sendiri merupakan kewajiban bagi setiap da’iyah muslimah, agar lebih memberikan peluang kepadanya untuk lebih leluasa di dalam berdakwah, tanpa keterikatan dalam ekonomi. Tak layak untuk menggantungkan harapan hidup dari dakwah, sebab itu bukan tabi’at dari Islam. Setiap Nabi senantiasa mengungkapkan hal tersebut kepada umatnya :
“Dan aku sekali-kali tidak meminta upah dari ajakan-ajakan itu ; upahku tak lain adalah dari Tuhan semesta alam” (Asy Syu’ara: 109,145,164,180).
Oleh karena itu sejak dini perlu dilatih dan dikondisikan agara perlahan-lahan usaha ini bisa kian terbuka bagi para aktivis dakwah. Ibnu Mas’ud ra pernah berkata, “Saya benar-benar benci melihat kalau melihat orang hanya menganggur saja, tak berusaha untuk kepentingan dan urusan keduniaannya dan tidak pula berusaha untuk akhirat.”
Nabi saw menyatakan bahwa burungpun suka mengusahakan rizkinya sendiri.
‘Berangkat pagi-pagi dengan perut kosong dan pulang sore-sore dengan perut kenyang’ (riwayat  Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Mereka harus keluar pagi-pagi untuk mencari makan, hingga ketika sore pulang perut mereka telah kenyang. Tidak layak kegiatan dakwah dijadikan kambing hitam untuk tidak mencari rizki. Justru dakwah akan semakin bisa berjalan dengan optimal apabila para pelaku dakwah telah mampu mandiri menghidupi diri, keluarga  dan apalagi dakwahnya.
Demikianlah persiapan maliyah amat diperlukan dalam dakwah, agar para da’iyah muslimah semakin tegar di jalan dakwah.