Oleh : Tatik Triyanita (XI IA 6/32)
Gema nuansa Illahi yang mengalun indah, menyerukan perintah Sang Pencipta untuk menegakkan kewajiban semua umat-Nya. Adzan Subuh yang selalu mengawali hari-hariku, menegurku agar selalu ingat untuk memanjatkan segenap rasa syukur kepada-Nya, Ar-Rahman Yang Maha Pengasih, atas nikmat-Nya aku masih dapat melihat dan menikmati indahnya dunia. Terdengar pelan suara ketukan pintu kamarku.
“Sita, bangun Nduk. Shalat Subuh.” Suara pelan wanita yang tak asing lagi, Ibu.”
“Iya bu, Sita bangun.”
Berat rasanya melangkahkan kaki ini, setelah semalam suntuk aku menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan Bapak Ibu guru. Tapi aku selalu ingat pesan Ibu, “Yakinlah, kesuksesan tidak datang pada orang-orang yang enggan berusaha. Kau seorang pelajar, sudah menjadi kewajibanmu ngangsu kawruh. Jangan suka mengeluh dan lakukan semuanya dengan ikhlas karena Allah Ta’ala.”
“Baik, semangat!” seruku dalam hati. Aku mulai melangkahkan kaki untuk segera mengambil air wudlu dan segera menuju langgar, masjid kecil di dekat rumahku.
“Sita, sarapan dulu. Nanti berangkat sekalian antarkan Ibu ke warungnya Bu Endang soalnya Bapak mau langsung berangkat katanya.” Kata Ibu dengan jelas dari dapur belakang.
“Iya bu, nanti Sita antar.”
Ya, namaku Masita Az Zahra, nama yang sederhana tetapi penuh makna bagiku. Cukup beralasan orang tuaku mmberikan nama itu padaku. Mereka berharap kelak aku bisa seperti Maysitah yang begitu istiqamah, seorang wanita yang tetap kukuh mengakui Tuhan hanyalah Allah SWT. Dan Az Zahra sendiri mereka tambahkan dengan makna cahaya. Mungkin mereka berharap aku bisa menjadi wanita yang istiqamah, laksana cahaya yang terus menyinari hingga tiba masanya nanti semua kembali kepada-Nya.
Aku juga bukan dilahirkan dalam keluarga berkalangan priyayi, keluargaku sederhana. Bapakku bekerja di sebuah kantor distributor surat kabar yang cukup terkemuka. Meskipun penghasilannya tak seberapa, kami yakin bahwa selagi kami masih dapat makan hari ini dan esok, kami sudah termasuk orang yang beruntung. Hal itu yang selalu ditanamkan padaku, anak tunggalnya.
Segera aku melangkahkan kaki ke dapur dan menyantap sarapan yang sudah Ibu siapkan.
“Sita, bapak berangkat dulu.” Pamit Bapak padaku.
“Iya, ati-ati Pak.” Ucapku di depan pintu sambil mencium tangannya.
“Assalamu’alaikum.” Tak pernah lupa Bapak ucapkan kata salam itu.
“Wa’alaikumsalam.” Balasku sambil melihat bayangan Bapak yang terus menjauh menembus kabut dengan sepeda motornya.
“Bu, besok Senin Sita udah mulai ulangan kenaikan kelas lho. Doain Sita ya.” Kataku sambil menyantap nasi goreng kesukaanku.
“Ya nduk, pasti Ibu sama bapak mendoakan yang terbaik. Ayo dihabiskan dulu makannya.”
Sampai di sekolah, seperti yang sudah ku kira hari ini ada tugas matematika. Ribut bukan main, kelas penuh sesak dan semuanya panik, khawatir kalau sampai tugas itu tidak selesai. Maklum, Pak Budi yang terkenal disiplin itu pasti tak segan untuk memberi hukuman pada siswanya yang tidak mengerjakan tugas.
“Sita, halaman 75 yang uraian. Cepet, keburu Pak Budi dateng.” suara setengah tersengal-sengal Deni yang tak lain meminta jawaban pekerjaanku.
“Sebentar. Semalem ngapain aja kamu? Tugas belum kelar kayak gitu?” candaku yang terkesan sombong.
“Ah, banyak ngomong. Buruan! Mau sombong entar aja, gawat nih!” desaknya.
“Hehe, bercanda bos! Nih bukunya.” sahut Sita sambil menyodorkan bukunya.
“Nah, gitu dong. Dari tadi kek!” katanya girang.
Bel istirahat berdering. Aku segera menuju keluar kelas, sekedar menghirup udara setelah dua jam bertegang ria dengan Pak Budi mempelajari fungsi turunan yang cukup menguras otak dan dianggap anak-anak sebagai materi yang sulit.
“Sita, ke kantin yuk?” tanya Uni teman sebangkuku.
“Ah, enggak. Lagi pengiritan. Hehe..”candaku dengan senyuman.
Teman-temanku Uni, Rio, Dini, Ratih dan Febri menemaniku duduk di bangku depan kelas. Seperti biasa, banyak hal yang selalu kami bicarakan mulai dari gosip infotainment yang sedang hangat, tentang pelajaran, bahkan seringkali berdebat sok bijak tentang masalah yang ada di antara kami.
“Masya Allah, tetangga baruku yang rumahnya di pengkolan itu, cakepnyaaa..” kata Ratih.
“Halah, enggak mutu banget ngomongin tetanggamu. Eh, ngomong-ngomong nih masa kemarin si Rini udah jadian sama Bagus. Padahal pedekatenya belum ada seminggu.” ucap Dini serius.
“Emang, kemaren aku yang bantuin Bagus jadi tim suksesnya.” kata Rio bangga.
Selalu seperti ini yang menjadi topik pembicaraan. Terkadang aku merasa jengah dan lebih memilih menjadi pendengar setia untuk topik yang satu ini. Tiba-tiba Uni menarik tanganku dan masuk ke dalam kelas.
“Duduk. Aku mau ngomong.” kata Uni dengan mimik serius.
“Iya, ngomong aja. Serius amat neng?” balasku santai.
“Gimana kabarnya Ahsan? Katanya kamu lagi deket sama dia?” tegas Uni.
Mendengar nama Ahsan aku jadi speechless! Aku paham maksud Uni.
“Udah lah, mukanya enggak usah merah gitu. Aku siap jadi tim suksesmu! Gimana?”
Bel masuk menyelamatkanku dari cecaran pertanyaan-pertanyaan Uni yang semakin tak jelas arahnya.
“Udah bel tuh!” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Sita!” Terdengar suara teriakan yang tidak asing lagi.
“Eh, Ahsan.. Pulang?” kata-kata darurat yang keluar dari mulutku. Ya, aku rasa tidak begitu buruk aku tanyakan demikian karena setting pertemuan yang tidak disengaja kali ini di Parkiran sekolah.
“Iya nih. Mau bareng?” tanya Ahsan.
“Makasih, aku lagi bawa motor nih. Duluan ya.. Assalamu’alaikum.” jawabku dengan jantung yang berpacu cepat.
“Sip. Ati-ati ya. Wa’alaikumsalam.”
Malam ini, ada banyak tugas yang harus ku kerjakan, tapi pikiranku tak jelas kemana. Lagi-lagi aku mengingat Ahsan. Pemuda yang aktif di berbagai organisasi di sekolah ini sudah memikat hatiku. Ya, karena dia memiliki banyak kelebihan, baik di bidang akademik maupun non-akademik, juda didukung tingkah lakunya yang santun dan baik.
“Ya Allah, Engkau Maha Pemberi Petunjuk. Salahkah hamba-Mu yang begitu kecil ini merasakan nikmat cinta yang Kau beri?”
Aku tak dapat memungkiri, akhir-akhir ini aku memang cukup dekat dengan Ahsan, mungkin begitu juga dengannya. Seperti remaja 17 tahun sebayaku. Masalah seperti ini tak asing lagi. Aku semakin tak tenang. Aku segera menuju ruang tamu. Aku ingin mengungkapkan semuanya di pangkuan Ibu. Ibu yang sedang duduk di ruang tamu menonton TV terlihat masih sabar menanti Bapak pulang.
“Ibu..” bisikku ke telinganya.
“Ya, nduk. Kenapa?”
“Sita mau ngomong sama Ibu.”
Aku menceritakan semuanya pada Ibu, wanita yang tidak pernah lelah mendengar keluh kesahku dan selalu memberi wejangan-wejangan yang bermanfaat.
“Masita Az Zahra, putri Ibu. Ibu ndak menyalahkan kamu. Tuhan menciptakan segala sesuatunya dengan cinta.”
“Atau Sita lebih baik seperti Rabi’ah Al-‘Adawiyah yang seumur hidupnya hanya untuk mencintai Allah semata? Hidupnya, apapun yang ia kerjakan semua hanya untuk Allah?”
“Bukan begitu, Ibu tak menyalahkan kamu kalau kamu menyukai seseorang. Ibu tau kamu pasti bisa memilih yang terbaik. Ahsan juga pasti memahami kondisimu.”
“Baiklah bu, Sita lebih memilih Ahsan tetap menjadi teman terbaik Sita. Biarkan waktu yang jadi jawaban, kalau memang Allah menggariskan bersama, kelak di pelataran surga. Amin.. Sita pengin lebih konsen belajar. Makasih bu, Sita jadi lega.”
“Nah gitu dong, baru anak Ibu,” pungkasnya.
Aku berniat mengirim sms ke Ahsan, tetapi tiba-tiba handphoneku berdering.
New Messages
From : Ahsan
Y, kelak di Pelataran Surga.
Sms itu entah mengapa terasa sangat kebetulan. Langsung kutekan tombol reply dan mulai mengetik balasan smsnya.
To : Ahsan
Sip, Boss!
Aku merasa lebih nyaman. Berteman baik lebih menyenangkan. Aku masih punya sejuta angan yang harus aku wujudkan. Tak ada banyak waktu untuk merasakan sakitnya “jatuh” cinta, atau mirisnya “patah” hati yang biasa remaja lain rasakan. Saatnya mulai meraih mimpi-mimpi dengan berkarya dan yakin suatu saat kesuksesan dapat kita raih seperti pernyataan yang diungkapkan Donny Dhirgantoro, novelis favoritku
“Keep our dreams alive... and we will survive.”
--
- The end –
No comments:
Post a Comment