4.06.2012

Dimana Keadilan Tuhan

Ada seorang teman bertanya kepada saya, “Jika Allah itu Mahaadil, kenapa hanya manusia yang diberi akal? Kenapa makhuk lain, seperti tumbuhan tidak diberi akal?”
Jawabannya adalah:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
[QS. Al-Baqarah 2:30-31]
Jawabannya tentu saja karena manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Apakah Allah hendak menjadikan manusia khalifah namun tak diberi akal? Tentu saja manusia akan bergabung bersama monyet-monyet di hutan. Atau bisa jadi jabatan kekhalifahan dipegang oleh seekor sapi. Ini tidak mungkin terjadi


Dan apa pula yang terjadi jika tumbuh-tumbuhan diberi akal oleh Allah seperti yang teman saya harapkan? Mungkin juga tumbuh-tumbuhan bisa berbicara dan bertingkah seperti manusia. Bisa Anda bayangkan ketika Anda memasuki area hutan atau kebun, layaknya Anda memasuki area pasar dimana tanam-tanaman dan pepohonan saling berbicara satu sama lain dan berjual-beli. Atau jangan-jangan Anda memasuki pasar manusia dimana tanam-tanaman memperdagangkan manusia layaknya manusia memperdagangkan sayuran? Yang lebih mencengangkan lagi jika Anda memasuki area hutan yang sudah jadi medan perang karena sejumlah pasukan bangsa pohon berperang dengan bangsa pohon lainnya karena memperebutkan area kekuasaannya.
Inikah yang kita harapkan dari keadilan Allah?
TIDAK!
Makna adil yang sebenarnya ialah “menempatkan sesuatu sesuai ukurannya”.
Sangat mudah menganalogikan sifat adil seperti ini:
Ada seorang ayah memiliki dua orang anak. Yang satu berusia tujuh tahun bersekolah di sekolah dasar, dan yang satu lagi berusia sembilan belas tahun kuliah di universitas di luar kota. Jika sang ayah memberi uang sangu kepada anaknya yang berusia tujuh tahun sebesar Rp 5000 / hari, apakah sang ayah juga akan memberikan uang sangu sebesar Rp 5000 / hari kepada anaknya yang kuliah di luar kota? Atau, apabila sang ayah memberikan uang sangu sebesar satu juta per bulan kepada anaknya yang kuliah di luar kota, apakah sang ayah juga akan memberikan uang sangu sebesar satu juta per bulan kepada anaknya yang sekolah di sekolah dasar?
Apakah hal ini adil yang masuk akal?
Tidak! Bahkan ini tidak pantas disebut adil. Sebagian orang akan menganggap aneh ayah model seperti itu.
Maka, kita kembalikan makna adil kepada arti yang sebenarnya, yaitu menempatkan sesuatu sesuai ukurannya.
Fikirkanlah juga, bagaimana Allah memberikan kelebihan pada seekor lalat hingga binatang ini dijadikan perumpamaan di Al-Qur’an:
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. [QS. Al-Hajj 22:73]
Allah menantang orang-orang yang menganggap hebat apa yang mereka puja itu untuk menciptakan seekor lalat. Kemudian apabila ada seekor lalat yang merampas sesuatu dari mereka, mereka tak akan dapat merebutnya kembali. Simplenya, jika ada seekor lalat datang ke gelas minuman Anda, kemudian dia menyedot sedikit air minuman Anda, bisakah Anda meminta air minum Anda kembali?
Sehebat-hebatnya manusia, Allah masih memberikan kehebatan kepada makhluk lain. Disini pulalah keadilan Allah subhanahu wa ta’ala. Setiap yang diberi kekurangan, diberi pula kelebihan. Setiap yang diberi kelebihan, diberi pula kekurangan.
Lalu, kita analogikan lagi sifat Mahaadil Allah Subhanahu wa ta’ala dalam menentukan siang dan malam. Seandainya matahari datang mengadu kepada Allah: “Ya Allah, mengapa Engkau tidak mengizinkanku melihat malam hari di bumi?” Kemudian datang bulan mengadu lagi kepada Allah: “Ya Allah, mengapa Engkau tidak mengizinkanku untuk melihat siang hari di bumi?” Masing-masing dari keduanya menuntut “keadilan” berdasarkan versi mereka. Dan jika Allah mengabulkan “keadilan” berdasarkan versi bulan dan matahari dalam analogi di atas, apa yang terjadi?
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?”
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.
[QS. Al-Qashash 28:73]
Lalu, apalagi yang membuat Allah memberikan manusia akal?
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
[QS. Ali Imran 3:190-191]
Tentu saja yaitu untuk merenungkan kebesaran Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan akal mereka. Bagaimana dengan makhluk lain? Apakah karena mereka tidak memiliki akal lalu mereka tidak mengetahui kebesaran Allah?
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. [QS. Al-Israa’ 17:44]
Tumbuhan, binatang, semuanya telah diilhamkan oleh Allah untuk selalu bertasbih kepada-Nya. Tidak seperti manusia telah diberi akal, namun ada sebagian yang menyimpang alias menjadi kafir dengan mengingkari-Nya.
Jadi, adil atau tidak adil itu tergantung dari sudut pandang kita dalam melihat sesuatu. Allah berfirman:
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. [QS. Al-Baqarah 2:216]
Allah mengajarkan kepada kita agar tidak melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja, tapi dilihat dari beberapa sudut pandang, baik itu yang bernilai positif, maupun yang bernilai negatif, sehingga mencegah kita untuk menghakimi terlalu dini. Apalagi yang kita hakimi tertuju pada sifat Allah itu sendiri.
Maka, bertakwalah sebagian orang yang suka menggerutu dan mencela Allah karena menyifatkan Dia tidak adil. Jika anggapan mereka begitu, katakanlah pada mereka: “Tinggalkanlah bumi Allah, dan carilah bumi lain yang bukan Allah penciptanya untuk tempat kamu tinggal, sehingga engkau bisa menemukan keadilan berdasarkan versimu.” Niscaya mereka tak akan menemukannya, seandainya memang ada bumi yang bukan Allah penciptanya, pastilah bentuk dan isi di dalamnya sangat berantakan acakadut karena tak ada sistem pengaturan dari Yang Mahaadil. Bisa jadi di dalamnya pohon menebang manusia, domba memakan singa, dan anak balita menyusui orang tuanya, dan kekacauan lainnya yang tak bisa dibayangkan.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? [QS. Ar-Rahmaan 55:13]
Wallahu a’lam bishowab…

No comments:

Post a Comment