Syarat-syarat
Pakaian Muslimah
Adapun persyaratan pakaian bagi wanita muslimah yang
diatur dalam syariat Islam adalah sebagai berikut:
1.
Menutup Seluruh Tubuh Kecuali Wajah dan Kedua Telapak Tangan
Seluruh tubuh wanita,
kecuali wajah dan kedua telapak tangannya adalah aurat yang harus ditutupi dari
pandangan orang yang tidak berhak melihatnya. Nabi bersabda kepada Asma’:
“Wahai
Asma’ sesungguhnya wanita itu apabila telah dewasa tidak layak kelihatan
darinya kecuali ini dan ini” sembari beliau berisyarat ke wajah dan kedua
telapak tangan beliau (Riwayat Abu Daud).
Asy Syaukani mengomentari
hadits tersebut dengan mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bagi
orang yang berpendapat bolehnya melihat wanita yang bukan mahram”. Ibnu Ruslan
menambahkan, “Hal ini bila bila diyakini tidak akan membawa syahwat perzinahan
dan lainnya”.
Allah Ta’ala telah
berfirman:
“Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya dan hendaklah mereka
menutupkan kain jilbabnya ke dadanya” (An Nur: 31).
Kalimat maa zhahara
minha dalam ayat di atas dijelaskan oleh Az Zamakhsyari, “Yang biasa tampak
misalnya cincin, celak dan inai. Semua itu tidak mengapa ditampakkan di hadapan
laki-laki yang bukan mahramnya”. Abu Ja’far ath Thahawi dalam kitab Syarh Ma’ani Al Atsar menjekaskan,
“Dibolehkan bagi laki-laki bagian tubuh wanita yang tidak dilarang, yaitu wajah
dan kedua telapak tangan; tetapi terlarang kalau terhadap isteri-isteri Nabi SAW. Hal ini menjadi pendapat
Imama Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Mudah-mudahan Allah merahmati
mereka”.
Asy Syaukani menjelaskan,
“Kesimpulannya ialah, seorang wanita boleh menampakkan sebagian tempat-tempat
perhiasannya karena memang diperlukan, mislnya untuk mengambil sesuatu, untuk
jual beli, dan untuk persaksian. Oleh karena itulah tempat-tempat perhiasan
tersebut dikecualikan dari larangan dalam ayat tersebut. Dan tempat-tempat
perhiasan yang dikecualikan itu tidak lain adalah wajah dan kedua telapak
tangan”.
Dengan demikian pakaian
wanita harus menutup seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan.
Pendapat ini merupakan kesepakatan ulama terdahulu, baik dari kalangan para
mufasir, ahli hadits, serta para ahli fikih dari berbagai madzhab. Para ulama zaman terdahulu telah mensepakati bahwa wajah
dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, hal ini menjadi pendapat yang
tercantum dalam karya-karya besar berikut:
a.
Fikih
Madzhab Hanafi: kitab Al Mabsuth karya
As Sarkhasi (wafat 490 H), kitab Al
Hidayah karya Al Marghinani (wafat 593 H), kitab Fathul Qadir karya Al Kamal bin Al Humam (wafat 681 H)
b.
Fikih
Madzhab Maliki: kitab Al Muwatha’ karya
Imam Malik (wafat 179 H), kitab Al
Mudawwanatul Kubra, kitab Al Muntaqa’
syarah Al Muwatha’ karya abul Walid
Al Baji (wafat 179 H), kitab At Tamhid karya
Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H), kitab Al Kafi
karya Ibnu Abdil Barr.
c.
Fikih
Madzhab Syafi’i: kitab Al Umm karya
Imam Syafi’i (wafat 240 H), kitab Al
Muhadzdzab karya asy Syairazi (wafat 476 H), kitab Al Majmu’ karya Imam An Nawawi (wafat 676 H).
d.
Fikih
Madzhab Hanbali: kitab Al Mukhtashar karya
Al Khiraqi (wafat 344 H), kitab al
Hidayah karya Al Kaludzani (wafat 510 H), kitab Al Ifshah an Ma’anish Shihah karya Ibnu Hubairah (wafat 560 H),
kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah
(wafat 620 H), kitab Al Muharrar fil
Fiqhi karya Majduddin Ibnu Taimiyah (wafat 652 H).
e.
Fikih
Madzhab Zhahiri: kitab Al Muhalla karya
Ibnu Hazm (wafat 456 H).
Keseluruhan kitab-kitan
fikih berbagai madzhab sebagaimana dicantumkan di atas, menyatakan bahwa wajah
dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Hal ini dikuatkan lagi dalam
kitab Al Fiqh ala Madzahib Al Arba’ah (Fikih
Empat Madzhab) susunan Dewan Ulama Saudi. Adapun para mufasir yang berpenbdapat bahwa wajah dan kedua telapak
tangan wanita bukan aurat adalah:
a.
Ath
Thabari (wafat 310 H) dalam Jami’ul Bayan
‘an Takwil Ayatil Qur’an
b.
Al
Jashash (wafat 370 H), dalam Ahkamul
Qur’an
c.
Al
Wahidi (wafat 468 H), dalam Al Wafiz Fi
Tafsiril Qura’anil Aziz
d.
Al
Baghawi (wafat 516 H), dalam Ma’alimut
Tanzil Fit Tafsir
e.
Az
Zamakhsyari (wafat 528), dalam Tafsir Al
Kasysyaf
f.
Al
Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi (wafat 543 H), dalam Ahkamul Qur’an
g.
Al
Fakhur Razi (wafat 606 H), dalam At
Tafsirul Kabir
h.
Al
Qurthubi (wafat 671 H), dalam Al Jami’ Li
Ahkamil Qur’an
i.
Al
Khazin (wafat 725 H), dalam Lubabut
Ta’wil Fi Ma’anit Tanzil
j.
An
Naisaburi (wafat 728 H), dalam Ghara’ibul
Qur’an wa Ragha’ibul Furqan
k.
Abu
Hayyan Al Andalusi (wafat 754 H), dalam Al
Bahrul Muhith
l.
Abu
Su’ud (wafat 951 H) dalam Tafsir Abis
Su’ud
m.
Ibnu
Badis (wafat 1359 H) dalam Min Atsari
Ibni Badis.
Di dalam kitab Al Muwatha’ diriwayatkan dari Yahya
bahwa Imam Malik pernah ditanya, “Apakah seorang wanita (boleh) makan bersma
laki-laki yang bukan mahramnya atau makan bersama anak laki-lakinya (saja)?”
Imam Malik menjawab, “Tidak mengapa (bersama laki-laki yang bukan mahramnya)
asalkan laki-laki tersebut telah dikenali”. Beliau menambahkan, “Biasa wanita
(menemani) makan suaminya dan bersama para tamunya”.
Al Baji di dalam kitab Al
Muntaqa Syarh Al Muwatha’ mengomentari
perkataan Imam Malik tersebut, “Dibolehkan laki-laki memandang wajah dan kedua
tangan perempuan itu, karena kedua bagian tubuh tersebut tentu terlihat pada
saat dia makan”.
Terhadap segolongan kaum
muslimin yang secara ketat mewajibkan para wanita muslimah menutup wajah
(dengan cadar) dan kedua telapak tangan mereka, Syaikh Nasiruddin Al Albani
dalam Kitabnya Ar Radd Al Mufhim mengatakan,
“Orang-orang
yang mewajibkan para wanita menutup wajah dan kedua telapak tangannya tidak
berdasar kepada Al Qur’an dan As Sunnah maupun ijma’ ulama”. Di bagian
lain, Albani mengatakan mereka yang mewajibkan cadar bagi wanita muslimah
sebagai “berdalil dengan hadits-hadits dhaif, atsar-atsar lemah, serta
atsar-atsar palsu yang mereka ketahui, atau mungkin tidak mereka ketahui”.
Sikap mewajibkan cadar bagi
wanita muslimah karena menganggap ada nash-nash syariat yang menunjukkan
kewajiban, dianggap Albani sebagai hal yang berlebih-lebihan di dalam agama.
Perhatikan ungkapan Nashiruddin Al Albani, seorang ulama tokoh Salafi berikut,
“Saya berkeyakinan bahwa sikap berlebih-lebihan terhadap urusan wajah wanita
itu tidak mungkin bisa mencetak generasi wanita di tiap-tiap negerinya yang
mampu mengemban tugas yang tergantung di leher mereka”.
“Wanita-wanita seperti itu
juga tidak akan mampu bertindak secara luwes dan tangkas di saat keadaan
membutuhkan. Dari hadits-hadits kita bisa mengetahui bahwa para wanita di zaman
Rasulullah ikut menyuguhkan makan dan minum para tamu, ikut berperang dengan
memberi minum mereka yang kehausan, memberi makan mereka yang kepalaran,
mengevakuasi mereka yang terbunuh; terkadang wanita sendiri ikut berperang di
saat kondisi mengharuskan”.
“Mungkinkah wanita-wanita
yang memakai cadar dan kaus tangan mampu melakukan kegiatan dan tugas-tugas
semacam itu?” Lanjut Albani, “Ya Allah, tidak mungkin. Kegiatan dan tugas-tugas
semacam itu hanya akan bisa dilakukan tatkala para wanita membuka wajah dan
kedua tangan mereka”.
Para shahabiyat Nabi
menampakkan wajah mereka setelah turunnya ayat hijab. Qais bin Abi Hazim
berkata, “Kami menemui Abu Bakar ra ketika ia sakit maka aku melihat di sisinya
seorang wanita yang putih, tangannya berlukis, dan sedang mengusir lalat. Ia
adalah Asma’ binti Umais”. Al Harits bin Ubaid, “Aku melihat Ummu Darda’ di
atas unta yang kuat tanpa mengenakan penutup, untuk menjenguk seorang laki-laki
Anshar di masjid (Riwayat Bukhary).
2. Pakaian
Tidak Menampakkan Aurat
Agar bisa
berfungsi menutup dalam artian tidak menampakkan aurat, maka pakaian tersebut harus
longgar dan tidak sempit, serta dari bahan yang kuat tertutup dan tidak
transparan. Inilah syarat kedua dari pakaian wanita muslimah. Berbagai model
pakaian yang dikenakan masyarakat saat ini, khususnya para wanita, banyak yang
sengaja dibuat sangat ketat sehingga membentuk tubuh mereka dengan jelas. Atau
sebagian lagi ada yang mengenakan pakaian dari kain yang tipis atau transparan
sehingga bentuk serta kulit tubuh mereka bisa terlihat dengan jelas.
Allah Ta’ala telah
berfirman:
“Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya dan hendaklah mereka
menutupkan kain jilbabnya ke dadanya” (An Nur: 31).
Ayat di atas dengan sangat tegas memerintahkan agar
“tidak menampakkan perhiasan”,
sebagaimana dijelaskan di depan yang dimaksud perhiasan adalah tubuh
wanita itu sendiri, dengan pengecualian “yang biasa tampak padanya” yaitu wajah
dan kedua telapak tangan.
Ayat tersebut
tidak mengatakan “hendaklah mereka menutup perhiasan mereka”, akan tetapi
“janganlah mereka menampakkan perhiasannya”. Ada perbedaan yang sangat mendasar antara
kata “jangan tampakkan” dengan “menutup”. Apabila yang diperintahkan adalah
menutup tubuh, para wanita yang saat ini berbusana dengan pakaian yang sangat
ketat membungkus tubuh mereka, sudah melaksanakan perintah tersebut. Mereka
telah menutup tubuh, yaitu dengan kain yang sangat ketat.
Namun karena
bunyi perintahnya adalah “jangan tampakkan perhiasan”, maka mereka yang
berbusana ketat sehingga lekuk-lekuk tubuhnya masih terlihat dengan sangat
jelas, belum memenuhi perintah tersebut. Kaus ketat yang membungkus tubuh
wanita, celana panjang yang ketat melekat di bagian bawahnya, tetaplah
menampakkan perhiasan wanita, meskipun sudah ada kegiatan menutup.
Sebagaimana
jika kita mengatakan “Tutuplah makanan itu”, maka kita bisa menutupnya dengan
plastik atau dengan alat lain yang transparan. Sudah ditutup, tetapi bendanya
masih kelihatan, karena penutupnya transparan. Seperti halnya model penutup handphone yang terbuat dari plastik
transparan, masih menampakkan bentuk dan warna aslinya. Akan tetapi jika
dikatakan, “Jangan tampakkan makanan itu”, maka perilaku kita adalah berusaha
menyembunyikan sehingga aman dan tidak kelihatan.
Apabila fungsi
mengenakan pakaian adalah untuk menghindarkan diri dari fitnah, maka dengan
model pakaian ketat dan transparan belum bisa memenuhi fungsi tersebut. Daya
tarik yang ditimbullkan oleh tubuh wanita, masih akan tertampakkan dengan kuat
apabila para wanita mengenakan pakaian semacam itu. Rasulullah saw pernah
menengarai umatnya bakal ada yang “berpakaian tetapi telanjang” sebagai salah
satu ciri-ciri datangnya kiamat. Bisa jadi, pakaian ketat dan transparan itulah
yang dimaksudkan, bahwa mereka telah berpakaian akan tetapi hakikatnya masih
telanjang.
3.
Memperhatikan Keindahan dan Kepantasan Secara Wajar
Islam adalah ajaran yang memperhatikan keindahan dalam
segala hal, termasuk dalam berpakaian. Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa
seorang laki-laki berkata
kepada nabi saw, “sesungguhnya seseorang suka pakaiannya bagus dn sandalnya
bagus”. Maka Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan”
(riwayat Muslim).
Di zaman kita hidup sekarang, berbagai model pakaian
dijumpai, sesuai dengan kultur masyarakat atau negara masing-masing. Ada model pakaian
tertentu yang dianggap lazim di sebuah daerah, akan tetapi dipandang aneh dan
tidak pantas pada tempat yang lain. Hal semacam ini merupakan khazanah budaya
kemanusiaan yang tidak diingkari begitu saja oleh Islam. Selera akan keindahan
justru ditumbuhkan dalam tradisi keislaman.
Syariat Islam menegaskan tentang esensi pakaian yang
harus bisa menutup aurat sehingga tidak tertampakkan kepada orang-orang yang
tidak berhak. Akan tetapi tidak mengatur mengenai warna, mode, ataupun asesoris
pakaian dengan detail dan renik. Setiap tempat bisa memiliki warna dan mode
yang berbeda, dengan tetap mempertimbangkan faktor keindahan dan kepantasan
yang wajar. Bahkan, untuk satu momen bisa berbeda dengan momen yang lain di
sebuah tempat dan pada orang yang sama.
Sebagai contoh, ketika menghadiri acara walimah
pernikahan, seseorang wanita muslimah mengenakan pakaian muslimah yang
mengandung unsur warna-warna dan motif tertentu yang cerah. Akan tetapi ada
nilai kepatutan yang berbeda saat menghadiri atau menengok seseorang yang
meninggal dunia. Dalam suasana berkabung warna pakaian dan coraknya pun
menyesuaikan dengan suasana tersebut, yang di berbagai tempat lebih merasa
tepoat menggunakan pakaian berwarna gelap atau hitam.
Oleh karena itu, Imam Ath Thabari dalam Fathul Bari mengatakan, “Sesungguhnya
memelihara model zaman termasuk muru’ah (kepatutan) selama tidak mengandung
dosa; dan menyelahi model serupa dengan mencari ketenaran”. Di
sini yang harus lebih diperhatikan adalah esensi menutup aurat, sedangkan
masalah warna, corak, motif ataupun mode, bisa menyesuaikan dengan berbagai
kondisi selama tidak terlalu mencolok dan mengundang perhatian, atau menyalahi
kepatutan dan keindahan.
Yang tercela adalah apabila pakaian wanita muslimah
tersebut, dalam rangka mencari keindahan secara berlebihan, sampai mengundang
syahwat laki-laki yang berinteraksi dengannya. Pakaiannya sedemikian mencolok
perhatian, dan ditambah dengan beraneka ragam asesoris yang semakin menguatkan
gebyar penampilan, bisa menimbulkan asosiasi tersendiri yang negatif. Selera
keindahan harus dipenuhi secara wajar, sebab berlebihan dalam segala sesuatu
termasuk sifat tercela, dan bahkan bisa jatuh ke dalam penampilan yang norak
dan tidak memiliki nilai kepatutan berdasarkan kebiasaan rata-rata muslimah di
tempat itu.
Jangan sampai para wanita mengenakan busana muslimah yang
secara fungsi telah menutup aurat, akan tetapi aneh dan asing karena tidak ada
kebiasaan berpakaian seperti itu di kalangan kaum muslimah, hanya karena ingin
mencari popularitas. Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang memakai pakaian kemasyhuran di dunia,
maka Allah akan memakaiakan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat,
kemudian dinyalakan untuknya api neraka” (riwayat Abu Dawud).
Demikianlah beberapa persyaratan umum pakaian wanita
muslimah. Keseluruhannya menjadi satu bagian yang utuh dari proses ibadah dan
sekaligus dakwah ilallah, menjaga pelaksanaan syariat akan tetapi tetap bisa
memperhatikan dan mengikuti perkembangan mode untuk memenuhi selera keindahan
secara wajar.
sumber: annisaagamaisitb.tumblr.com
*with a few changes
No comments:
Post a Comment